Jumat, 03 Desember 2010

LINGKUNGAN HIDUP

Rendahnya perhatian masyarakat dalam hal ini perlu untuk ditingkatkan. Pelibatan para seniman, dan lebih khusus para selebritas hiburan, merupakan langkah menarik publik agar memerhatikan (kembali) masalah lingkungan. Berbeda dibandingkan birokrat yang cenderung dipersepsi masyarakat sebagai pihak bermasalah, para selebritas relatif memiliki “kredibilitas” di mata masyarakat. Kredibilitas yang dimaksud adalah adanya kedekatan emosi yang tinggi sehingga menyugesti persepsi masyarakat.

Tujuan melibatkan para selebritas itu merupakan langkah yang wajar. Bahkan bila dikaitkan dengan budaya televisi dan internet, cara ini menjadi kampanye ampuh untuk lebih intensif menggerakkan masyarakat. Di luar negeri, keterlibatan para selebritas dalam lingkungan tidak terbilang baru. Bahkan keterlibatan mereka bukan hanya untuk menghumaskan kerja-kerja birokrasi, namun memang betul-betul secara sadar demi menyelamatkan lingkungan. Karena itu tidak heran ada selebritas yang menunjukkan militansinya menyangkut masalah lingkungan. Bono, vokalis U2, adalah satu di antara selebritas yang dikenal fanatik bersama para aktivis lingkungan Greenpeace.

Lantas, apakah pelibatan Marissa Haque, Angelina Sondakh, Iga Mawarni, dan Oppie Andaresta—untuk menyebut beberapa nama yang pernah terlibat—dalam gerakan yang dimaksudkan Nabiel Makarim juga akan menyerupai rekan-rekan seprofesinya di luar negeri? Apabila figur seperti Bono melancarkan lobi politik dalam masalah lingkungan, akankah langkah serupa dilakukan oleh para selebritas kita itu?

Sebagai bentuk kampanye, pelibatan selebritas setidaknya mendapatkan modal tersendiri. Dibandingkan para birokrat, para selebritas itu relatif dipersepsi positif. Atau setidaknya keberadaan mereka dalam soal lingkungan diposisikan netral. Sebab, para selebritas itu tidak dikenal memiliki kiprah yang mengancam lingkungan hidup. Posisi sebaliknya tidak dimiliki para birokrat; pada satu sisi mereka mengajak menjaga lingkungan, namun pada sisi yang lain mereka pula yang merusaki lingkungan—antara lain melalui produk peraturan.

Agar meraih kredibilitas di mata masyarakat, para selebritas itu semestinya menyelaraskan tindakannya dengan perkataannya. Mencontoh Bono, yang dikerjakannya dalam kehidupan sehari-hari memang seperti yang dikampanyekannya. Apabila para selebritas kita itu bertolak belakang aktivitas di luar kampanyenya dengan pernyataan yang disampaikan ke masyarakat, efektivitas kampanye kecil untuk tercapai.

Sejauh yang teramati, saya melihat belum banyak selebritas kita yang sengaja meluangkan waktunya untuk (sekurang-kurangnya) menoleh pada masalah lingkungan. Dalam gemerlapnya budaya pop, masalah lingkungan berada pada posisi jauh di bawah obsesi meraih popularitas. Jangan lupa, para selebritas hidup dalam naungan konsumerisme; konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme—kapitalisme inilah yang bekerja di balik mode produksi industri budaya pop. Jadi, ada keterkaitan erat antara unsur-unsur tersebut.

Dengan konfigurasi seperti ini, tindakan luar biasa apabila ada selebritas yang secara sadar “melawan” kodrat dunianya (seperti Bono). Adakah selebritas kita yang terang-terangan menentang perusakan lingkungan, sementara perusahaan yang berada di belakang perusakan itu adalah—biasanya masih satu pemilik dengan—penyokong industri budaya pop (yang turut membesarkan selebritas tersebut)?

Alih-alih membiasakan diri hidup dengan “gaya hijau”, para selebritas kita, walaupun tidak semuanya, adalah konsumen modernisme. Padahal, modernisme merupakan kata yang dekat dengan rusaknya lingkungan. Perhatian pada lingkungan termarjinalkan di bawah obsesi menikmati gaya hidup. Wajar apabila kita jauh lebih mudah menjumpai selebritas fasih berbicara gaya hidup daripada ancaman terhadap bumi.

Sebagai warga perkotaan, para selebritas sendiri sebetulnya perlu beradaptasi untuk berempati pada persoalan lingkungan. Asumsinya seperti di atas, para selebritas itu sebelumnya relatif asing dengan persoalan lingkungan. Dalam posisi mereka selaku anggota kampanye lingkungan, tidak bisa tidak, kepedulian harus dimanifestasikan dalam aktivitas konkret—aktivitas yang juga secara konsisten diterapkan di lingkungan terdekatnya.

Andil para selebritas dalam kampanye ini tidak lain bagian dari pencitraan ke publik. Tujuan lebih jauh dari pencitraan ini sendiri adalah mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran pada lingkungan bisa dimasukkan sebagai indikator agenda kelas menengah. Dengan intensifnya kampanye mereka berarti menghendaki meningkatnya kuantitas (sekaligus kualitas) kelas menengah, yakni kelompok masyarakat yang lebih peduli pada soal lingkungan—entah berasal dari kota, subkota ataupun desa.

Justru dengan tujuan tersebut, kebijakan pemerintah atau lembaga non-pemerintah menggandeng selebritas dapat dilihat sebagai pemanfaatan pihak ketiga (selebritas). Selebritaslah yang memerantarai agenda mereka untuk menciptakan masyarakat yang sadar-lingkungan. Penciptaan kelas menengah ini amat jelas bernuansa teknokratis, atas-bawah. Ariel Heryanto mengkritik konsep kelas menengah yang “dapat direkayasa atau dibikin” (Prisma No.4, 1990:58). Penerapannya dalam konteks penyelamatan lingkungan adalah selebritas menjadi komoditas untuk menyukseskan program pemerintah atau non-pemerintah dalam rangka “membikin” masyarakat yang sadar lingkungan—ketika birokrasi pemerintah sendiri gagal menjalankan tugas ini atau bagi lembaga non-pemerintah seperti kurang memiliki kepercayaan diri bila bergerak tapa sorot lampu kamera televisi.

Sekali lagi, bandingkan dengan fenomena Bono. Kiprahnya adalah otonom dan terisolasi dari intervensi aparat negara. Para selebritas kita, tanpa mengurangi rasa percaya bahwa di antara mereka ada yang peduli terhadap lingkungan, masih menjadi mesin pemerintah yakni “membikin” kesadaran masyarakat.

Dengan posisi selebritas seperti itulah patut dikritisi andil pemerintah sendiri. Alih-alih membuat kebijakan yang memihak lingkungan, pemerintah malah berbuat sebaliknya. Dan kini kegagalan yang telah dilakukan disiasati justru dengan memanfaatkan pihak ketiga. Semestinya para selebritas itu tetaplah hanya sebagai pengawal mengajak masyarakat; selanjutnya tetap pemerintahlah yang memerhatikan relasi masyarakat dan lingkungan. Alih-alih berbuat demikian, pemerintah justru berlepas tangan. Ditempatkannya di garis depan, disadari atau tidak, para selebritas sengaja dimanfaatkan untuk membersihkan citra pemerintah. Hal serupa berlaku pada swasta yang membuat acara-acara seremoni lingkungan.

Karena belum teruji resistensinya terhadap modernisasi, sangat mudah bagi para selebritas itu untuk melupakan pernyataannya mendukung lingkungan. Bagaimana pun mereka hidup dalam atmosfer budaya pop yang berjasa kepadanya, dan di lain pihak, mereka sendiri (selebritas) sebetulnya menyerah dalam industri budaya pop. Amat kecil, pada kondisi demikian, mereka masih memikirkan persoalan lain: lingkungan. Sehingga dalam hal ini diragukan efektivitas memanfaatkan selebritas—kecuali barangkali hanya sementara—untuk mencontohkan ke publik.

Atas fenomena itu, saya terkesan dengan pernyataan Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang dikutip oleh Keith Tester (2003:109), bahwa kita meniru selebritas karena bagian dari pengaruh moral mereka sebenarnya terdapat dalam kenyataan bahwa mereka sendiri tidak berdaya, tetapi bertindak atas nama semua individu yang tak berdaya, dan mewujudkan kekuatan penuh bagi mereka.

Karena itu, saya jujur cemas, jangan-jangan ketidakberdayaan para selebritas itu sesungguhnya mewakili ketidakberdayaan pemerintah dan kita, masyarakat.[]

LINGKUNGAN HIDUP

Rendahnya perhatian masyarakat dalam hal ini perlu untuk ditingkatkan. Pelibatan para seniman, dan lebih khusus para selebritas hiburan, merupakan langkah menarik publik agar memerhatikan (kembali) masalah lingkungan. Berbeda dibandingkan birokrat yang cenderung dipersepsi masyarakat sebagai pihak bermasalah, para selebritas relatif memiliki “kredibilitas” di mata masyarakat. Kredibilitas yang dimaksud adalah adanya kedekatan emosi yang tinggi sehingga menyugesti persepsi masyarakat.

Tujuan melibatkan para selebritas itu merupakan langkah yang wajar. Bahkan bila dikaitkan dengan budaya televisi dan internet, cara ini menjadi kampanye ampuh untuk lebih intensif menggerakkan masyarakat. Di luar negeri, keterlibatan para selebritas dalam lingkungan tidak terbilang baru. Bahkan keterlibatan mereka bukan hanya untuk menghumaskan kerja-kerja birokrasi, namun memang betul-betul secara sadar demi menyelamatkan lingkungan. Karena itu tidak heran ada selebritas yang menunjukkan militansinya menyangkut masalah lingkungan. Bono, vokalis U2, adalah satu di antara selebritas yang dikenal fanatik bersama para aktivis lingkungan Greenpeace.

Lantas, apakah pelibatan Marissa Haque, Angelina Sondakh, Iga Mawarni, dan Oppie Andaresta—untuk menyebut beberapa nama yang pernah terlibat—dalam gerakan yang dimaksudkan Nabiel Makarim juga akan menyerupai rekan-rekan seprofesinya di luar negeri? Apabila figur seperti Bono melancarkan lobi politik dalam masalah lingkungan, akankah langkah serupa dilakukan oleh para selebritas kita itu?

Sebagai bentuk kampanye, pelibatan selebritas setidaknya mendapatkan modal tersendiri. Dibandingkan para birokrat, para selebritas itu relatif dipersepsi positif. Atau setidaknya keberadaan mereka dalam soal lingkungan diposisikan netral. Sebab, para selebritas itu tidak dikenal memiliki kiprah yang mengancam lingkungan hidup. Posisi sebaliknya tidak dimiliki para birokrat; pada satu sisi mereka mengajak menjaga lingkungan, namun pada sisi yang lain mereka pula yang merusaki lingkungan—antara lain melalui produk peraturan.

Agar meraih kredibilitas di mata masyarakat, para selebritas itu semestinya menyelaraskan tindakannya dengan perkataannya. Mencontoh Bono, yang dikerjakannya dalam kehidupan sehari-hari memang seperti yang dikampanyekannya. Apabila para selebritas kita itu bertolak belakang aktivitas di luar kampanyenya dengan pernyataan yang disampaikan ke masyarakat, efektivitas kampanye kecil untuk tercapai.

Sejauh yang teramati, saya melihat belum banyak selebritas kita yang sengaja meluangkan waktunya untuk (sekurang-kurangnya) menoleh pada masalah lingkungan. Dalam gemerlapnya budaya pop, masalah lingkungan berada pada posisi jauh di bawah obsesi meraih popularitas. Jangan lupa, para selebritas hidup dalam naungan konsumerisme; konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme—kapitalisme inilah yang bekerja di balik mode produksi industri budaya pop. Jadi, ada keterkaitan erat antara unsur-unsur tersebut.

Dengan konfigurasi seperti ini, tindakan luar biasa apabila ada selebritas yang secara sadar “melawan” kodrat dunianya (seperti Bono). Adakah selebritas kita yang terang-terangan menentang perusakan lingkungan, sementara perusahaan yang berada di belakang perusakan itu adalah—biasanya masih satu pemilik dengan—penyokong industri budaya pop (yang turut membesarkan selebritas tersebut)?

Alih-alih membiasakan diri hidup dengan “gaya hijau”, para selebritas kita, walaupun tidak semuanya, adalah konsumen modernisme. Padahal, modernisme merupakan kata yang dekat dengan rusaknya lingkungan. Perhatian pada lingkungan termarjinalkan di bawah obsesi menikmati gaya hidup. Wajar apabila kita jauh lebih mudah menjumpai selebritas fasih berbicara gaya hidup daripada ancaman terhadap bumi.

Sebagai warga perkotaan, para selebritas sendiri sebetulnya perlu beradaptasi untuk berempati pada persoalan lingkungan. Asumsinya seperti di atas, para selebritas itu sebelumnya relatif asing dengan persoalan lingkungan. Dalam posisi mereka selaku anggota kampanye lingkungan, tidak bisa tidak, kepedulian harus dimanifestasikan dalam aktivitas konkret—aktivitas yang juga secara konsisten diterapkan di lingkungan terdekatnya.

Andil para selebritas dalam kampanye ini tidak lain bagian dari pencitraan ke publik. Tujuan lebih jauh dari pencitraan ini sendiri adalah mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran pada lingkungan bisa dimasukkan sebagai indikator agenda kelas menengah. Dengan intensifnya kampanye mereka berarti menghendaki meningkatnya kuantitas (sekaligus kualitas) kelas menengah, yakni kelompok masyarakat yang lebih peduli pada soal lingkungan—entah berasal dari kota, subkota ataupun desa.

Justru dengan tujuan tersebut, kebijakan pemerintah atau lembaga non-pemerintah menggandeng selebritas dapat dilihat sebagai pemanfaatan pihak ketiga (selebritas). Selebritaslah yang memerantarai agenda mereka untuk menciptakan masyarakat yang sadar-lingkungan. Penciptaan kelas menengah ini amat jelas bernuansa teknokratis, atas-bawah. Ariel Heryanto mengkritik konsep kelas menengah yang “dapat direkayasa atau dibikin” (Prisma No.4, 1990:58). Penerapannya dalam konteks penyelamatan lingkungan adalah selebritas menjadi komoditas untuk menyukseskan program pemerintah atau non-pemerintah dalam rangka “membikin” masyarakat yang sadar lingkungan—ketika birokrasi pemerintah sendiri gagal menjalankan tugas ini atau bagi lembaga non-pemerintah seperti kurang memiliki kepercayaan diri bila bergerak tapa sorot lampu kamera televisi.

Sekali lagi, bandingkan dengan fenomena Bono. Kiprahnya adalah otonom dan terisolasi dari intervensi aparat negara. Para selebritas kita, tanpa mengurangi rasa percaya bahwa di antara mereka ada yang peduli terhadap lingkungan, masih menjadi mesin pemerintah yakni “membikin” kesadaran masyarakat.

Dengan posisi selebritas seperti itulah patut dikritisi andil pemerintah sendiri. Alih-alih membuat kebijakan yang memihak lingkungan, pemerintah malah berbuat sebaliknya. Dan kini kegagalan yang telah dilakukan disiasati justru dengan memanfaatkan pihak ketiga. Semestinya para selebritas itu tetaplah hanya sebagai pengawal mengajak masyarakat; selanjutnya tetap pemerintahlah yang memerhatikan relasi masyarakat dan lingkungan. Alih-alih berbuat demikian, pemerintah justru berlepas tangan. Ditempatkannya di garis depan, disadari atau tidak, para selebritas sengaja dimanfaatkan untuk membersihkan citra pemerintah. Hal serupa berlaku pada swasta yang membuat acara-acara seremoni lingkungan.

Karena belum teruji resistensinya terhadap modernisasi, sangat mudah bagi para selebritas itu untuk melupakan pernyataannya mendukung lingkungan. Bagaimana pun mereka hidup dalam atmosfer budaya pop yang berjasa kepadanya, dan di lain pihak, mereka sendiri (selebritas) sebetulnya menyerah dalam industri budaya pop. Amat kecil, pada kondisi demikian, mereka masih memikirkan persoalan lain: lingkungan. Sehingga dalam hal ini diragukan efektivitas memanfaatkan selebritas—kecuali barangkali hanya sementara—untuk mencontohkan ke publik.

Atas fenomena itu, saya terkesan dengan pernyataan Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang dikutip oleh Keith Tester (2003:109), bahwa kita meniru selebritas karena bagian dari pengaruh moral mereka sebenarnya terdapat dalam kenyataan bahwa mereka sendiri tidak berdaya, tetapi bertindak atas nama semua individu yang tak berdaya, dan mewujudkan kekuatan penuh bagi mereka.

Karena itu, saya jujur cemas, jangan-jangan ketidakberdayaan para selebritas itu sesungguhnya mewakili ketidakberdayaan pemerintah dan kita, masyarakat.[]

PENGORGANISASIAN DAN DEPARTEMENTALISASI

Organisasi berasal dari bahasa Yunani: ὄργανον, organon - alat) adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah unt tujuan bersama.

Menurut para ahli terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.

* Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama [2].
* James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama [3].
* Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih[4].
* Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. [5].

Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat.[1] Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran.

Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.[1] Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis).

a. Cara manajemen merancang struktur formal untuk penggunaan yang paling efektif sumber daya keuangan , fisik , bahan baku , dan tenaga kerja organisasi.
b. Hubungan-hubungan antara fungsi , jabatan , tugas dan para karyawan.
c. Cara dalam mana para manager lebih lanjut tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam departemen mereka dan mendelagasikan wewenang yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tersebut. Dari tiga hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal , mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan diantara organisasi agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien.

Teori-Teori Organisasi Dalam kehidupan nyata orang-orang bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan bersama , yang dilakukan adalah kegiatan menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional atau biasa disebut dengan istilah Organisasi. Organisasi dalam hal ini bisa terdapat pada badan usaha , instansi pemerintah , lembaga pendidikan , militer , kelompok masyarakat atau suatu perkumpulan olahraga. Kata Organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional , seperti organisasi perusahaan , rumah sakit , perwakilan pemerintah atau suatu perkumpulan olahraga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan diantara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.

STRUKTUR ORGANISASI
Pengertian Sturktur Organisasi Sturktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan mana organisasi dikelola. Sturktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan diantara fungsi-fungsi atau orang-orang yang menunjukkan kedudukan , tugas wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam organisasi. Struktur ini mengandung unsur-unsur spesialis kerja , standarlisasi ,koordinasi , sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan atau besaran satuan kerja.

Faktor-Faktor Perancangan Struktur Organisasi faktor-faktor utama yang menentukan perancangan struktur organisasi adalah sebagai berikut:
1. strategi organisasi untuk mencapai tujuannya. strategi menjelaskan bagaimana aliran wewenang dan saluran komunikasi dapat disusun diantara para pimpinan dan bawahan.
2. teknologi yang digunakan. perbedaan teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang atau jasa akan membedakan struktur organisasi.
3. anggota (pegawai / karyawan) dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi. kemanapun dan cara berfikir para anggota, serta kebutuhan mereka untuk bekerja sama harus diperhatikan dalam merancang struktur organisasi.
4. ukuran organisasi. besarnya organisasi secara keseluruhan maupun satuan kerjanya yang sangat mempengaruhi struktur organisasi. semakin besar ukuran organisasi, struktur organisasi akan semakin kompleks dan harus dipilih struktur yang tepat.


2. dapertamentalisas

Pegawai atau karyawan dalam suatu perusahaan terhubung dalam suatu kesatuan struktur yang menyatu dengan tujuan agar pekerjaan yang ada dapat terselesaikan dengan lebih baik dibandingkan tanpa adanya pembagian bagian tugas kerja.
Untuk melakukan pengumpulan orang-orang dalam suatu unit, divisi, bagian ataupun departemen dengan tugas pekerjan yang berkaitan diadakan kegaitan departementalization atau departementalisasi.

Pembagian departemen atau unit pada struktur organisasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam :

1. Departementalisasi Menurut Fungsi
Pada pembagian ini orang yang memiliki fungsi yang terikat dikelompokkan menjadi satu. Umum terjadi pada organisasi kecil dengan sumber daya terbatas dengan produksi lini produk yang tidak banyak. Biasanya dibagi dalam bagian keuangan, pemasaran, umum, produksi, dan lain sebagainya.

2. Departementalisasi Menurut Produk / Pasar
Pada jenis departementalisasi ini orang-orang atau sumber daya yang ada dibagi ke dalam departementalisasi menurut fungsi serta dibagi juga ke dalam tiap-tiap lini produk, wilayah geografis, menurut jenis konsumen, dan lain sebagainya.

3. Departementalisasi Organisasi Matrix / Matriks
Bentut organisasi matriks marupakan gabungan dari departementalisasi menurut fungsional dan departementalisasi menurut proyek. Seorang pegawai dapat memiliki dua posisi baik secara fungsi maupun proyek sehingga otomatis akan memiliki dua atasan / komando ganda. Proyek biasanya diadakan secara tidak menentu dan sifatnya tidak tetap.

koordinasi

Menurut G.R. Terry koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.
Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).
Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.
Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:
1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.


Kebutuhan akan Koordinasi.
Kebutuhan koordinasi menurut stoner dan walker dapat di bedakan menjadi 3 fariasi:
1. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan kelompok (pooled interdependence)
Terjadi apabila organisasi tidak tergantung satu sama lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan sehari-hari, tetapi tergantung pada prestasi yang memadai dari setiap unit demi tercapainya hasil ahir.
2. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial (sequential interdependence)
Kebutuhan ini tercermin pada suatu unit organisasi yang harus melaksanakan kegiatan terlebih dahulu sebelum unit-unit selanjutnya dapat bertindak.
3. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence)
ketergantungan timbal balik melibatkan hubungan saling memberi dan menerima dan saling menguntungkan di antara unit-unit.


Masalah dalam Pencapaian Koordinasi.
Masalah koordinasi banyak terjadi pada ketergantungan sekuansial dan ketergantungan timbal-balik. Ini di karenakan munculnya perbedaan dalam sikap dan gaya kerja berbagai individu dan bagian/unit di dalam organisasi.
Perbedaan-perbedaan yang efektifitas koordinasi adalah:
1. Perbedaan dalam Orientasi Terhadap Tujuan Tertentu.
Terjadi apabila anggota berbeda dalam mengembangkan pandangan nya sendiri dalam mencari cara terbaik untuk meningkatkan kepentingan perusahaan.
2. Perbedaan dalam Orientasi Waktu.
Terjadi apabila salah satu unit yang lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus segera di tanggulangi, sedangkan unit yang lain lebih memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah yang memerlukan waktu lama.
3. Perbedaan Orientasi Antar Pribadi.
Terjadi apabila produksi ingin meningkatkan produknya dengan meningkatnya permintaan pasar, sedangkan unit perbekalan ingin mengurangi jumlah bahan yang di perlukan karena menipisnya dan sulitnya mencari bahan baku.
4. Perbedaan dalam Formulasi Struktur.
Terjadi apabila unit produksi dalam mengevaluasi kemajuan dengan mengukur imbalan kepada karyawan dengan tercapainya sasaran, sedangkan unit personalia dalam mengevaluasi kemajuan dengan mengukur kinerja yang di capai karyawan dengan kinerja yang di capai sebelumnya.

Pendekatan – pendekatan untuk mencapai koordinasi yang efektif

Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar ketidakpastian tugas yang dikoordinasi, semakin membutuhkan informasi. Pada dasarnya koordinasi merupakan pemrosesan informasi. Terdapat tiga pendekatan untuk pencapaian koordinasi yang efektif, yaitu:

1. Teknik-Teknik Manajemen Dasar

Untuk mencapai koordinasi yang efektif kita dapat menggunakan mekanisme teknik-teknik manajemen dasar : hirarki manajerial, rencana dan tujuan sebagai pengarah umum kegiatan-kegiatan serta aturan-aturan dan prosedur-prosedur. Organisasi relatif tidak memerlukan peralatan koordinasi lebih dari teknik-teknik tersebut.

Mekanisme teknik manajemen dasar

a. Hirarki manajerial.

Rantai perintah, aliran informasi dan kerja, wewenag formal, hubungan tanggung jawab dan akuntanbilitas yang jelas dapat menumbuhkan integrasi bila dirumuskan secara jelas serta dilaksanakan dengan pengarahan yang tepat.

b. Aturan dan prosedur.

Adalah keputusan-keputusan manajerial yang dibuat untuk menangani kejadian-kejadian rutin, sehingga dapat juga menjadi peralatan yang efisien untuk koordinasi dan pengawasan rutin.

c. Rencana dan penetapan tujuan.

Pengembangannya dapat digunakan untuk pengoordinasian melalui pengarah seluruh satuan orgaisasi terhadap sasaran-sasaran yang sama. Ini diperlukan bila aturan dan prosedur tidak mampu lagi memproses seluruh informasi yang dibutuhkan untuk mengoordinasikan kegiatan-kegiatan satuan-satuan oraganisasi.

1. Meningakatkan koordinasi potensial

Meningkatkan koordinasi potensial menjadi diperlukan bila bermacam-macam satuan organisasi menjadi saling tergantung dan lebih luas dalam ukuran dan fungsi. Koordinasi ini dapat di tingkatkan melalui dua cara, yaitu :

2. Sistem informasi vertikal.

Adalah peralatan melalui mana data disalurkan melewati tingkatan-tingkatan organisasi. Komunikasi dapat terjadi di dalam atau di luar rantai perintah. Sistem informasi manajemen telah dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan seperti pemasaran, keuangan, produksi, dan operasi-operasi internasional untuk meningkatkan informasi yang tersedia bagi perencanaan, koordinasi, dan pengawasan.

3. Hubungan-hubungan lateral (harizontal).

Melalui pemotongan rantai perintah, hubungan-hubungan lateral membiarkan informasi dipertukarkan dan keputusan dibuat pada tingkat hirarki dimana informasi yang dibutuhkan ada.

Beberapa hubungan lateral, yaitu:

- Kontak langsung antara individu-individu yang dapat meningkatakan efektivitas dan efisiensi kerja.

- Peranan penghubung, yang menangani komunikasi antar departemen sahingga mengurangi panjangnya saluran komunikasi.

- Panitnya dan satuan tugas. Panitnya biasanya diorganisasi secara formal dengan pertemuan yang dijadwalkan teratur. Satuan tugas dibentuk bila dibutuhkan untuk masalah-masalah khusus.

- Pengintegrasian peranan-peranan, yang dilakukan oleh misal manajer produk atau proyek, perlu diciptakan bila suatu produk, jasa atau proyek khusus memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi dan perhatian yang terus menerus dari seseorang.

- Peranan penghubung manajerial, yang mempunyai kekuasaan menyetujui perumusan anggaran oleh satuan-satuan yang diintegrasikan dan implementasinya. Ini diperlukan bila posisi pengintegrasian yang dijelaskan pada d di atas tidak secara efektif mengoordinasikan tugas tertentu.

- Organisasi matriks, suatu mekanisme yang sangat baik bagi penanganan dan penyelesaian proyek-proyek yang kompleks.

1. Metode Pengurangan Kebutuhan akan Koordinasi

Dalam beberapa situasi adalah tidak efisien untuk mengembangkan cara pengkoordinasian tambahan. Ini dapat dilakukan dengan penyediaan tambahan smber daya-sumber daya untuk satuan-satuan organisasi atau penglompokan kembali satuan-satuan organisasi agar tugas-tugas dapat berdiri sendiri.

- Penciptaan sumber daya-sumber daya tambahan.

Sumber daya-sumber daya tambahan memberikan kelonggaran bagi satuan-satuan kerja. Penambahan tenaga kerja, bahan baku atau waktu, tugas diperingan dan masalah-masalah yang timbul berkurang.

- Penciptaan tugas-tugas yang dapat berdiri sendiri.

Teknik ini mengurangi kebutuhan koordinasi dengan mengubah karakter satuan-satuan organisasi. Kelompok tugas yang dapat berdiri sendiri diserahi suatu tanggung jawab penuh salah satu organisasi operasi (perusahaan).