Rendahnya perhatian masyarakat dalam hal ini perlu untuk ditingkatkan. Pelibatan para seniman, dan lebih khusus para selebritas hiburan, merupakan langkah menarik publik agar memerhatikan (kembali) masalah lingkungan. Berbeda dibandingkan birokrat yang cenderung dipersepsi masyarakat sebagai pihak bermasalah, para selebritas relatif memiliki “kredibilitas” di mata masyarakat. Kredibilitas yang dimaksud adalah adanya kedekatan emosi yang tinggi sehingga menyugesti persepsi masyarakat.
Tujuan melibatkan para selebritas itu merupakan langkah yang wajar. Bahkan bila dikaitkan dengan budaya televisi dan internet, cara ini menjadi kampanye ampuh untuk lebih intensif menggerakkan masyarakat. Di luar negeri, keterlibatan para selebritas dalam lingkungan tidak terbilang baru. Bahkan keterlibatan mereka bukan hanya untuk menghumaskan kerja-kerja birokrasi, namun memang betul-betul secara sadar demi menyelamatkan lingkungan. Karena itu tidak heran ada selebritas yang menunjukkan militansinya menyangkut masalah lingkungan. Bono, vokalis U2, adalah satu di antara selebritas yang dikenal fanatik bersama para aktivis lingkungan Greenpeace.
Lantas, apakah pelibatan Marissa Haque, Angelina Sondakh, Iga Mawarni, dan Oppie Andaresta—untuk menyebut beberapa nama yang pernah terlibat—dalam gerakan yang dimaksudkan Nabiel Makarim juga akan menyerupai rekan-rekan seprofesinya di luar negeri? Apabila figur seperti Bono melancarkan lobi politik dalam masalah lingkungan, akankah langkah serupa dilakukan oleh para selebritas kita itu?
Sebagai bentuk kampanye, pelibatan selebritas setidaknya mendapatkan modal tersendiri. Dibandingkan para birokrat, para selebritas itu relatif dipersepsi positif. Atau setidaknya keberadaan mereka dalam soal lingkungan diposisikan netral. Sebab, para selebritas itu tidak dikenal memiliki kiprah yang mengancam lingkungan hidup. Posisi sebaliknya tidak dimiliki para birokrat; pada satu sisi mereka mengajak menjaga lingkungan, namun pada sisi yang lain mereka pula yang merusaki lingkungan—antara lain melalui produk peraturan.
Agar meraih kredibilitas di mata masyarakat, para selebritas itu semestinya menyelaraskan tindakannya dengan perkataannya. Mencontoh Bono, yang dikerjakannya dalam kehidupan sehari-hari memang seperti yang dikampanyekannya. Apabila para selebritas kita itu bertolak belakang aktivitas di luar kampanyenya dengan pernyataan yang disampaikan ke masyarakat, efektivitas kampanye kecil untuk tercapai.
Sejauh yang teramati, saya melihat belum banyak selebritas kita yang sengaja meluangkan waktunya untuk (sekurang-kurangnya) menoleh pada masalah lingkungan. Dalam gemerlapnya budaya pop, masalah lingkungan berada pada posisi jauh di bawah obsesi meraih popularitas. Jangan lupa, para selebritas hidup dalam naungan konsumerisme; konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme—kapitalisme inilah yang bekerja di balik mode produksi industri budaya pop. Jadi, ada keterkaitan erat antara unsur-unsur tersebut.
Dengan konfigurasi seperti ini, tindakan luar biasa apabila ada selebritas yang secara sadar “melawan” kodrat dunianya (seperti Bono). Adakah selebritas kita yang terang-terangan menentang perusakan lingkungan, sementara perusahaan yang berada di belakang perusakan itu adalah—biasanya masih satu pemilik dengan—penyokong industri budaya pop (yang turut membesarkan selebritas tersebut)?
Alih-alih membiasakan diri hidup dengan “gaya hijau”, para selebritas kita, walaupun tidak semuanya, adalah konsumen modernisme. Padahal, modernisme merupakan kata yang dekat dengan rusaknya lingkungan. Perhatian pada lingkungan termarjinalkan di bawah obsesi menikmati gaya hidup. Wajar apabila kita jauh lebih mudah menjumpai selebritas fasih berbicara gaya hidup daripada ancaman terhadap bumi.
Sebagai warga perkotaan, para selebritas sendiri sebetulnya perlu beradaptasi untuk berempati pada persoalan lingkungan. Asumsinya seperti di atas, para selebritas itu sebelumnya relatif asing dengan persoalan lingkungan. Dalam posisi mereka selaku anggota kampanye lingkungan, tidak bisa tidak, kepedulian harus dimanifestasikan dalam aktivitas konkret—aktivitas yang juga secara konsisten diterapkan di lingkungan terdekatnya.
Andil para selebritas dalam kampanye ini tidak lain bagian dari pencitraan ke publik. Tujuan lebih jauh dari pencitraan ini sendiri adalah mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran pada lingkungan bisa dimasukkan sebagai indikator agenda kelas menengah. Dengan intensifnya kampanye mereka berarti menghendaki meningkatnya kuantitas (sekaligus kualitas) kelas menengah, yakni kelompok masyarakat yang lebih peduli pada soal lingkungan—entah berasal dari kota, subkota ataupun desa.
Justru dengan tujuan tersebut, kebijakan pemerintah atau lembaga non-pemerintah menggandeng selebritas dapat dilihat sebagai pemanfaatan pihak ketiga (selebritas). Selebritaslah yang memerantarai agenda mereka untuk menciptakan masyarakat yang sadar-lingkungan. Penciptaan kelas menengah ini amat jelas bernuansa teknokratis, atas-bawah. Ariel Heryanto mengkritik konsep kelas menengah yang “dapat direkayasa atau dibikin” (Prisma No.4, 1990:58). Penerapannya dalam konteks penyelamatan lingkungan adalah selebritas menjadi komoditas untuk menyukseskan program pemerintah atau non-pemerintah dalam rangka “membikin” masyarakat yang sadar lingkungan—ketika birokrasi pemerintah sendiri gagal menjalankan tugas ini atau bagi lembaga non-pemerintah seperti kurang memiliki kepercayaan diri bila bergerak tapa sorot lampu kamera televisi.
Sekali lagi, bandingkan dengan fenomena Bono. Kiprahnya adalah otonom dan terisolasi dari intervensi aparat negara. Para selebritas kita, tanpa mengurangi rasa percaya bahwa di antara mereka ada yang peduli terhadap lingkungan, masih menjadi mesin pemerintah yakni “membikin” kesadaran masyarakat.
Dengan posisi selebritas seperti itulah patut dikritisi andil pemerintah sendiri. Alih-alih membuat kebijakan yang memihak lingkungan, pemerintah malah berbuat sebaliknya. Dan kini kegagalan yang telah dilakukan disiasati justru dengan memanfaatkan pihak ketiga. Semestinya para selebritas itu tetaplah hanya sebagai pengawal mengajak masyarakat; selanjutnya tetap pemerintahlah yang memerhatikan relasi masyarakat dan lingkungan. Alih-alih berbuat demikian, pemerintah justru berlepas tangan. Ditempatkannya di garis depan, disadari atau tidak, para selebritas sengaja dimanfaatkan untuk membersihkan citra pemerintah. Hal serupa berlaku pada swasta yang membuat acara-acara seremoni lingkungan.
Karena belum teruji resistensinya terhadap modernisasi, sangat mudah bagi para selebritas itu untuk melupakan pernyataannya mendukung lingkungan. Bagaimana pun mereka hidup dalam atmosfer budaya pop yang berjasa kepadanya, dan di lain pihak, mereka sendiri (selebritas) sebetulnya menyerah dalam industri budaya pop. Amat kecil, pada kondisi demikian, mereka masih memikirkan persoalan lain: lingkungan. Sehingga dalam hal ini diragukan efektivitas memanfaatkan selebritas—kecuali barangkali hanya sementara—untuk mencontohkan ke publik.
Atas fenomena itu, saya terkesan dengan pernyataan Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang dikutip oleh Keith Tester (2003:109), bahwa kita meniru selebritas karena bagian dari pengaruh moral mereka sebenarnya terdapat dalam kenyataan bahwa mereka sendiri tidak berdaya, tetapi bertindak atas nama semua individu yang tak berdaya, dan mewujudkan kekuatan penuh bagi mereka.
Karena itu, saya jujur cemas, jangan-jangan ketidakberdayaan para selebritas itu sesungguhnya mewakili ketidakberdayaan pemerintah dan kita, masyarakat.[]
Jumat, 03 Desember 2010
LINGKUNGAN HIDUP
Rendahnya perhatian masyarakat dalam hal ini perlu untuk ditingkatkan. Pelibatan para seniman, dan lebih khusus para selebritas hiburan, merupakan langkah menarik publik agar memerhatikan (kembali) masalah lingkungan. Berbeda dibandingkan birokrat yang cenderung dipersepsi masyarakat sebagai pihak bermasalah, para selebritas relatif memiliki “kredibilitas” di mata masyarakat. Kredibilitas yang dimaksud adalah adanya kedekatan emosi yang tinggi sehingga menyugesti persepsi masyarakat.
Tujuan melibatkan para selebritas itu merupakan langkah yang wajar. Bahkan bila dikaitkan dengan budaya televisi dan internet, cara ini menjadi kampanye ampuh untuk lebih intensif menggerakkan masyarakat. Di luar negeri, keterlibatan para selebritas dalam lingkungan tidak terbilang baru. Bahkan keterlibatan mereka bukan hanya untuk menghumaskan kerja-kerja birokrasi, namun memang betul-betul secara sadar demi menyelamatkan lingkungan. Karena itu tidak heran ada selebritas yang menunjukkan militansinya menyangkut masalah lingkungan. Bono, vokalis U2, adalah satu di antara selebritas yang dikenal fanatik bersama para aktivis lingkungan Greenpeace.
Lantas, apakah pelibatan Marissa Haque, Angelina Sondakh, Iga Mawarni, dan Oppie Andaresta—untuk menyebut beberapa nama yang pernah terlibat—dalam gerakan yang dimaksudkan Nabiel Makarim juga akan menyerupai rekan-rekan seprofesinya di luar negeri? Apabila figur seperti Bono melancarkan lobi politik dalam masalah lingkungan, akankah langkah serupa dilakukan oleh para selebritas kita itu?
Sebagai bentuk kampanye, pelibatan selebritas setidaknya mendapatkan modal tersendiri. Dibandingkan para birokrat, para selebritas itu relatif dipersepsi positif. Atau setidaknya keberadaan mereka dalam soal lingkungan diposisikan netral. Sebab, para selebritas itu tidak dikenal memiliki kiprah yang mengancam lingkungan hidup. Posisi sebaliknya tidak dimiliki para birokrat; pada satu sisi mereka mengajak menjaga lingkungan, namun pada sisi yang lain mereka pula yang merusaki lingkungan—antara lain melalui produk peraturan.
Agar meraih kredibilitas di mata masyarakat, para selebritas itu semestinya menyelaraskan tindakannya dengan perkataannya. Mencontoh Bono, yang dikerjakannya dalam kehidupan sehari-hari memang seperti yang dikampanyekannya. Apabila para selebritas kita itu bertolak belakang aktivitas di luar kampanyenya dengan pernyataan yang disampaikan ke masyarakat, efektivitas kampanye kecil untuk tercapai.
Sejauh yang teramati, saya melihat belum banyak selebritas kita yang sengaja meluangkan waktunya untuk (sekurang-kurangnya) menoleh pada masalah lingkungan. Dalam gemerlapnya budaya pop, masalah lingkungan berada pada posisi jauh di bawah obsesi meraih popularitas. Jangan lupa, para selebritas hidup dalam naungan konsumerisme; konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme—kapitalisme inilah yang bekerja di balik mode produksi industri budaya pop. Jadi, ada keterkaitan erat antara unsur-unsur tersebut.
Dengan konfigurasi seperti ini, tindakan luar biasa apabila ada selebritas yang secara sadar “melawan” kodrat dunianya (seperti Bono). Adakah selebritas kita yang terang-terangan menentang perusakan lingkungan, sementara perusahaan yang berada di belakang perusakan itu adalah—biasanya masih satu pemilik dengan—penyokong industri budaya pop (yang turut membesarkan selebritas tersebut)?
Alih-alih membiasakan diri hidup dengan “gaya hijau”, para selebritas kita, walaupun tidak semuanya, adalah konsumen modernisme. Padahal, modernisme merupakan kata yang dekat dengan rusaknya lingkungan. Perhatian pada lingkungan termarjinalkan di bawah obsesi menikmati gaya hidup. Wajar apabila kita jauh lebih mudah menjumpai selebritas fasih berbicara gaya hidup daripada ancaman terhadap bumi.
Sebagai warga perkotaan, para selebritas sendiri sebetulnya perlu beradaptasi untuk berempati pada persoalan lingkungan. Asumsinya seperti di atas, para selebritas itu sebelumnya relatif asing dengan persoalan lingkungan. Dalam posisi mereka selaku anggota kampanye lingkungan, tidak bisa tidak, kepedulian harus dimanifestasikan dalam aktivitas konkret—aktivitas yang juga secara konsisten diterapkan di lingkungan terdekatnya.
Andil para selebritas dalam kampanye ini tidak lain bagian dari pencitraan ke publik. Tujuan lebih jauh dari pencitraan ini sendiri adalah mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran pada lingkungan bisa dimasukkan sebagai indikator agenda kelas menengah. Dengan intensifnya kampanye mereka berarti menghendaki meningkatnya kuantitas (sekaligus kualitas) kelas menengah, yakni kelompok masyarakat yang lebih peduli pada soal lingkungan—entah berasal dari kota, subkota ataupun desa.
Justru dengan tujuan tersebut, kebijakan pemerintah atau lembaga non-pemerintah menggandeng selebritas dapat dilihat sebagai pemanfaatan pihak ketiga (selebritas). Selebritaslah yang memerantarai agenda mereka untuk menciptakan masyarakat yang sadar-lingkungan. Penciptaan kelas menengah ini amat jelas bernuansa teknokratis, atas-bawah. Ariel Heryanto mengkritik konsep kelas menengah yang “dapat direkayasa atau dibikin” (Prisma No.4, 1990:58). Penerapannya dalam konteks penyelamatan lingkungan adalah selebritas menjadi komoditas untuk menyukseskan program pemerintah atau non-pemerintah dalam rangka “membikin” masyarakat yang sadar lingkungan—ketika birokrasi pemerintah sendiri gagal menjalankan tugas ini atau bagi lembaga non-pemerintah seperti kurang memiliki kepercayaan diri bila bergerak tapa sorot lampu kamera televisi.
Sekali lagi, bandingkan dengan fenomena Bono. Kiprahnya adalah otonom dan terisolasi dari intervensi aparat negara. Para selebritas kita, tanpa mengurangi rasa percaya bahwa di antara mereka ada yang peduli terhadap lingkungan, masih menjadi mesin pemerintah yakni “membikin” kesadaran masyarakat.
Dengan posisi selebritas seperti itulah patut dikritisi andil pemerintah sendiri. Alih-alih membuat kebijakan yang memihak lingkungan, pemerintah malah berbuat sebaliknya. Dan kini kegagalan yang telah dilakukan disiasati justru dengan memanfaatkan pihak ketiga. Semestinya para selebritas itu tetaplah hanya sebagai pengawal mengajak masyarakat; selanjutnya tetap pemerintahlah yang memerhatikan relasi masyarakat dan lingkungan. Alih-alih berbuat demikian, pemerintah justru berlepas tangan. Ditempatkannya di garis depan, disadari atau tidak, para selebritas sengaja dimanfaatkan untuk membersihkan citra pemerintah. Hal serupa berlaku pada swasta yang membuat acara-acara seremoni lingkungan.
Karena belum teruji resistensinya terhadap modernisasi, sangat mudah bagi para selebritas itu untuk melupakan pernyataannya mendukung lingkungan. Bagaimana pun mereka hidup dalam atmosfer budaya pop yang berjasa kepadanya, dan di lain pihak, mereka sendiri (selebritas) sebetulnya menyerah dalam industri budaya pop. Amat kecil, pada kondisi demikian, mereka masih memikirkan persoalan lain: lingkungan. Sehingga dalam hal ini diragukan efektivitas memanfaatkan selebritas—kecuali barangkali hanya sementara—untuk mencontohkan ke publik.
Atas fenomena itu, saya terkesan dengan pernyataan Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang dikutip oleh Keith Tester (2003:109), bahwa kita meniru selebritas karena bagian dari pengaruh moral mereka sebenarnya terdapat dalam kenyataan bahwa mereka sendiri tidak berdaya, tetapi bertindak atas nama semua individu yang tak berdaya, dan mewujudkan kekuatan penuh bagi mereka.
Karena itu, saya jujur cemas, jangan-jangan ketidakberdayaan para selebritas itu sesungguhnya mewakili ketidakberdayaan pemerintah dan kita, masyarakat.[]
Tujuan melibatkan para selebritas itu merupakan langkah yang wajar. Bahkan bila dikaitkan dengan budaya televisi dan internet, cara ini menjadi kampanye ampuh untuk lebih intensif menggerakkan masyarakat. Di luar negeri, keterlibatan para selebritas dalam lingkungan tidak terbilang baru. Bahkan keterlibatan mereka bukan hanya untuk menghumaskan kerja-kerja birokrasi, namun memang betul-betul secara sadar demi menyelamatkan lingkungan. Karena itu tidak heran ada selebritas yang menunjukkan militansinya menyangkut masalah lingkungan. Bono, vokalis U2, adalah satu di antara selebritas yang dikenal fanatik bersama para aktivis lingkungan Greenpeace.
Lantas, apakah pelibatan Marissa Haque, Angelina Sondakh, Iga Mawarni, dan Oppie Andaresta—untuk menyebut beberapa nama yang pernah terlibat—dalam gerakan yang dimaksudkan Nabiel Makarim juga akan menyerupai rekan-rekan seprofesinya di luar negeri? Apabila figur seperti Bono melancarkan lobi politik dalam masalah lingkungan, akankah langkah serupa dilakukan oleh para selebritas kita itu?
Sebagai bentuk kampanye, pelibatan selebritas setidaknya mendapatkan modal tersendiri. Dibandingkan para birokrat, para selebritas itu relatif dipersepsi positif. Atau setidaknya keberadaan mereka dalam soal lingkungan diposisikan netral. Sebab, para selebritas itu tidak dikenal memiliki kiprah yang mengancam lingkungan hidup. Posisi sebaliknya tidak dimiliki para birokrat; pada satu sisi mereka mengajak menjaga lingkungan, namun pada sisi yang lain mereka pula yang merusaki lingkungan—antara lain melalui produk peraturan.
Agar meraih kredibilitas di mata masyarakat, para selebritas itu semestinya menyelaraskan tindakannya dengan perkataannya. Mencontoh Bono, yang dikerjakannya dalam kehidupan sehari-hari memang seperti yang dikampanyekannya. Apabila para selebritas kita itu bertolak belakang aktivitas di luar kampanyenya dengan pernyataan yang disampaikan ke masyarakat, efektivitas kampanye kecil untuk tercapai.
Sejauh yang teramati, saya melihat belum banyak selebritas kita yang sengaja meluangkan waktunya untuk (sekurang-kurangnya) menoleh pada masalah lingkungan. Dalam gemerlapnya budaya pop, masalah lingkungan berada pada posisi jauh di bawah obsesi meraih popularitas. Jangan lupa, para selebritas hidup dalam naungan konsumerisme; konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme—kapitalisme inilah yang bekerja di balik mode produksi industri budaya pop. Jadi, ada keterkaitan erat antara unsur-unsur tersebut.
Dengan konfigurasi seperti ini, tindakan luar biasa apabila ada selebritas yang secara sadar “melawan” kodrat dunianya (seperti Bono). Adakah selebritas kita yang terang-terangan menentang perusakan lingkungan, sementara perusahaan yang berada di belakang perusakan itu adalah—biasanya masih satu pemilik dengan—penyokong industri budaya pop (yang turut membesarkan selebritas tersebut)?
Alih-alih membiasakan diri hidup dengan “gaya hijau”, para selebritas kita, walaupun tidak semuanya, adalah konsumen modernisme. Padahal, modernisme merupakan kata yang dekat dengan rusaknya lingkungan. Perhatian pada lingkungan termarjinalkan di bawah obsesi menikmati gaya hidup. Wajar apabila kita jauh lebih mudah menjumpai selebritas fasih berbicara gaya hidup daripada ancaman terhadap bumi.
Sebagai warga perkotaan, para selebritas sendiri sebetulnya perlu beradaptasi untuk berempati pada persoalan lingkungan. Asumsinya seperti di atas, para selebritas itu sebelumnya relatif asing dengan persoalan lingkungan. Dalam posisi mereka selaku anggota kampanye lingkungan, tidak bisa tidak, kepedulian harus dimanifestasikan dalam aktivitas konkret—aktivitas yang juga secara konsisten diterapkan di lingkungan terdekatnya.
Andil para selebritas dalam kampanye ini tidak lain bagian dari pencitraan ke publik. Tujuan lebih jauh dari pencitraan ini sendiri adalah mengubah perilaku masyarakat. Kesadaran pada lingkungan bisa dimasukkan sebagai indikator agenda kelas menengah. Dengan intensifnya kampanye mereka berarti menghendaki meningkatnya kuantitas (sekaligus kualitas) kelas menengah, yakni kelompok masyarakat yang lebih peduli pada soal lingkungan—entah berasal dari kota, subkota ataupun desa.
Justru dengan tujuan tersebut, kebijakan pemerintah atau lembaga non-pemerintah menggandeng selebritas dapat dilihat sebagai pemanfaatan pihak ketiga (selebritas). Selebritaslah yang memerantarai agenda mereka untuk menciptakan masyarakat yang sadar-lingkungan. Penciptaan kelas menengah ini amat jelas bernuansa teknokratis, atas-bawah. Ariel Heryanto mengkritik konsep kelas menengah yang “dapat direkayasa atau dibikin” (Prisma No.4, 1990:58). Penerapannya dalam konteks penyelamatan lingkungan adalah selebritas menjadi komoditas untuk menyukseskan program pemerintah atau non-pemerintah dalam rangka “membikin” masyarakat yang sadar lingkungan—ketika birokrasi pemerintah sendiri gagal menjalankan tugas ini atau bagi lembaga non-pemerintah seperti kurang memiliki kepercayaan diri bila bergerak tapa sorot lampu kamera televisi.
Sekali lagi, bandingkan dengan fenomena Bono. Kiprahnya adalah otonom dan terisolasi dari intervensi aparat negara. Para selebritas kita, tanpa mengurangi rasa percaya bahwa di antara mereka ada yang peduli terhadap lingkungan, masih menjadi mesin pemerintah yakni “membikin” kesadaran masyarakat.
Dengan posisi selebritas seperti itulah patut dikritisi andil pemerintah sendiri. Alih-alih membuat kebijakan yang memihak lingkungan, pemerintah malah berbuat sebaliknya. Dan kini kegagalan yang telah dilakukan disiasati justru dengan memanfaatkan pihak ketiga. Semestinya para selebritas itu tetaplah hanya sebagai pengawal mengajak masyarakat; selanjutnya tetap pemerintahlah yang memerhatikan relasi masyarakat dan lingkungan. Alih-alih berbuat demikian, pemerintah justru berlepas tangan. Ditempatkannya di garis depan, disadari atau tidak, para selebritas sengaja dimanfaatkan untuk membersihkan citra pemerintah. Hal serupa berlaku pada swasta yang membuat acara-acara seremoni lingkungan.
Karena belum teruji resistensinya terhadap modernisasi, sangat mudah bagi para selebritas itu untuk melupakan pernyataannya mendukung lingkungan. Bagaimana pun mereka hidup dalam atmosfer budaya pop yang berjasa kepadanya, dan di lain pihak, mereka sendiri (selebritas) sebetulnya menyerah dalam industri budaya pop. Amat kecil, pada kondisi demikian, mereka masih memikirkan persoalan lain: lingkungan. Sehingga dalam hal ini diragukan efektivitas memanfaatkan selebritas—kecuali barangkali hanya sementara—untuk mencontohkan ke publik.
Atas fenomena itu, saya terkesan dengan pernyataan Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang dikutip oleh Keith Tester (2003:109), bahwa kita meniru selebritas karena bagian dari pengaruh moral mereka sebenarnya terdapat dalam kenyataan bahwa mereka sendiri tidak berdaya, tetapi bertindak atas nama semua individu yang tak berdaya, dan mewujudkan kekuatan penuh bagi mereka.
Karena itu, saya jujur cemas, jangan-jangan ketidakberdayaan para selebritas itu sesungguhnya mewakili ketidakberdayaan pemerintah dan kita, masyarakat.[]
PENGORGANISASIAN DAN DEPARTEMENTALISASI
Organisasi berasal dari bahasa Yunani: ὄργανον, organon - alat) adalah suatu kelompok orang dalam suatu wadah unt tujuan bersama.
Menurut para ahli terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.
* Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama [2].
* James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama [3].
* Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih[4].
* Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. [5].
Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat.[1] Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran.
Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.[1] Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis).
a. Cara manajemen merancang struktur formal untuk penggunaan yang paling efektif sumber daya keuangan , fisik , bahan baku , dan tenaga kerja organisasi.
b. Hubungan-hubungan antara fungsi , jabatan , tugas dan para karyawan.
c. Cara dalam mana para manager lebih lanjut tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam departemen mereka dan mendelagasikan wewenang yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tersebut. Dari tiga hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal , mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan diantara organisasi agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien.
Teori-Teori Organisasi Dalam kehidupan nyata orang-orang bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan bersama , yang dilakukan adalah kegiatan menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional atau biasa disebut dengan istilah Organisasi. Organisasi dalam hal ini bisa terdapat pada badan usaha , instansi pemerintah , lembaga pendidikan , militer , kelompok masyarakat atau suatu perkumpulan olahraga. Kata Organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional , seperti organisasi perusahaan , rumah sakit , perwakilan pemerintah atau suatu perkumpulan olahraga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan diantara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.
STRUKTUR ORGANISASI
Pengertian Sturktur Organisasi Sturktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan mana organisasi dikelola. Sturktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan diantara fungsi-fungsi atau orang-orang yang menunjukkan kedudukan , tugas wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam organisasi. Struktur ini mengandung unsur-unsur spesialis kerja , standarlisasi ,koordinasi , sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan atau besaran satuan kerja.
Faktor-Faktor Perancangan Struktur Organisasi faktor-faktor utama yang menentukan perancangan struktur organisasi adalah sebagai berikut:
1. strategi organisasi untuk mencapai tujuannya. strategi menjelaskan bagaimana aliran wewenang dan saluran komunikasi dapat disusun diantara para pimpinan dan bawahan.
2. teknologi yang digunakan. perbedaan teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang atau jasa akan membedakan struktur organisasi.
3. anggota (pegawai / karyawan) dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi. kemanapun dan cara berfikir para anggota, serta kebutuhan mereka untuk bekerja sama harus diperhatikan dalam merancang struktur organisasi.
4. ukuran organisasi. besarnya organisasi secara keseluruhan maupun satuan kerjanya yang sangat mempengaruhi struktur organisasi. semakin besar ukuran organisasi, struktur organisasi akan semakin kompleks dan harus dipilih struktur yang tepat.
2. dapertamentalisas
Pegawai atau karyawan dalam suatu perusahaan terhubung dalam suatu kesatuan struktur yang menyatu dengan tujuan agar pekerjaan yang ada dapat terselesaikan dengan lebih baik dibandingkan tanpa adanya pembagian bagian tugas kerja.
Untuk melakukan pengumpulan orang-orang dalam suatu unit, divisi, bagian ataupun departemen dengan tugas pekerjan yang berkaitan diadakan kegaitan departementalization atau departementalisasi.
Pembagian departemen atau unit pada struktur organisasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam :
1. Departementalisasi Menurut Fungsi
Pada pembagian ini orang yang memiliki fungsi yang terikat dikelompokkan menjadi satu. Umum terjadi pada organisasi kecil dengan sumber daya terbatas dengan produksi lini produk yang tidak banyak. Biasanya dibagi dalam bagian keuangan, pemasaran, umum, produksi, dan lain sebagainya.
2. Departementalisasi Menurut Produk / Pasar
Pada jenis departementalisasi ini orang-orang atau sumber daya yang ada dibagi ke dalam departementalisasi menurut fungsi serta dibagi juga ke dalam tiap-tiap lini produk, wilayah geografis, menurut jenis konsumen, dan lain sebagainya.
3. Departementalisasi Organisasi Matrix / Matriks
Bentut organisasi matriks marupakan gabungan dari departementalisasi menurut fungsional dan departementalisasi menurut proyek. Seorang pegawai dapat memiliki dua posisi baik secara fungsi maupun proyek sehingga otomatis akan memiliki dua atasan / komando ganda. Proyek biasanya diadakan secara tidak menentu dan sifatnya tidak tetap.
Menurut para ahli terdapat beberapa pengertian organisasi sebagai berikut.
* Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama [2].
* James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama [3].
* Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih[4].
* Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. [5].
Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat.[1] Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti; pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran.
Dalam ilmu-ilmu sosial, organisasi dipelajari oleh periset dari berbagai bidang ilmu, terutama sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan manajemen.[1] Kajian mengenai organisasi sering disebut studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis).
a. Cara manajemen merancang struktur formal untuk penggunaan yang paling efektif sumber daya keuangan , fisik , bahan baku , dan tenaga kerja organisasi.
b. Hubungan-hubungan antara fungsi , jabatan , tugas dan para karyawan.
c. Cara dalam mana para manager lebih lanjut tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam departemen mereka dan mendelagasikan wewenang yang diperlukan untuk mengerjakan tugas tersebut. Dari tiga hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengorganisasian merupakan suatu proses untuk merancang struktur formal , mengelompokkan dan mengatur serta membagi tugas-tugas atau pekerjaan diantara organisasi agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien.
Teori-Teori Organisasi Dalam kehidupan nyata orang-orang bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan bersama , yang dilakukan adalah kegiatan menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional atau biasa disebut dengan istilah Organisasi. Organisasi dalam hal ini bisa terdapat pada badan usaha , instansi pemerintah , lembaga pendidikan , militer , kelompok masyarakat atau suatu perkumpulan olahraga. Kata Organisasi mempunyai dua pengertian umum. Pengertian pertama menandakan suatu lembaga atau kelompok fungsional , seperti organisasi perusahaan , rumah sakit , perwakilan pemerintah atau suatu perkumpulan olahraga. Pengertian kedua berkenaan dengan proses pengorganisasian sebagai suatu cara dalam mana kegiatan organisasi dialokasikan dan ditugaskan diantara para anggotanya agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien.
STRUKTUR ORGANISASI
Pengertian Sturktur Organisasi Sturktur organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan mana organisasi dikelola. Sturktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan diantara fungsi-fungsi atau orang-orang yang menunjukkan kedudukan , tugas wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda dalam organisasi. Struktur ini mengandung unsur-unsur spesialis kerja , standarlisasi ,koordinasi , sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan atau besaran satuan kerja.
Faktor-Faktor Perancangan Struktur Organisasi faktor-faktor utama yang menentukan perancangan struktur organisasi adalah sebagai berikut:
1. strategi organisasi untuk mencapai tujuannya. strategi menjelaskan bagaimana aliran wewenang dan saluran komunikasi dapat disusun diantara para pimpinan dan bawahan.
2. teknologi yang digunakan. perbedaan teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang-barang atau jasa akan membedakan struktur organisasi.
3. anggota (pegawai / karyawan) dan orang-orang yang terlibat dalam organisasi. kemanapun dan cara berfikir para anggota, serta kebutuhan mereka untuk bekerja sama harus diperhatikan dalam merancang struktur organisasi.
4. ukuran organisasi. besarnya organisasi secara keseluruhan maupun satuan kerjanya yang sangat mempengaruhi struktur organisasi. semakin besar ukuran organisasi, struktur organisasi akan semakin kompleks dan harus dipilih struktur yang tepat.
2. dapertamentalisas
Pegawai atau karyawan dalam suatu perusahaan terhubung dalam suatu kesatuan struktur yang menyatu dengan tujuan agar pekerjaan yang ada dapat terselesaikan dengan lebih baik dibandingkan tanpa adanya pembagian bagian tugas kerja.
Untuk melakukan pengumpulan orang-orang dalam suatu unit, divisi, bagian ataupun departemen dengan tugas pekerjan yang berkaitan diadakan kegaitan departementalization atau departementalisasi.
Pembagian departemen atau unit pada struktur organisasi dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam :
1. Departementalisasi Menurut Fungsi
Pada pembagian ini orang yang memiliki fungsi yang terikat dikelompokkan menjadi satu. Umum terjadi pada organisasi kecil dengan sumber daya terbatas dengan produksi lini produk yang tidak banyak. Biasanya dibagi dalam bagian keuangan, pemasaran, umum, produksi, dan lain sebagainya.
2. Departementalisasi Menurut Produk / Pasar
Pada jenis departementalisasi ini orang-orang atau sumber daya yang ada dibagi ke dalam departementalisasi menurut fungsi serta dibagi juga ke dalam tiap-tiap lini produk, wilayah geografis, menurut jenis konsumen, dan lain sebagainya.
3. Departementalisasi Organisasi Matrix / Matriks
Bentut organisasi matriks marupakan gabungan dari departementalisasi menurut fungsional dan departementalisasi menurut proyek. Seorang pegawai dapat memiliki dua posisi baik secara fungsi maupun proyek sehingga otomatis akan memiliki dua atasan / komando ganda. Proyek biasanya diadakan secara tidak menentu dan sifatnya tidak tetap.
koordinasi
Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri (Hasibuan, 2007:85).
Menurut Mc. Farland (Handayaningrat, 1985:89) koordinasi adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, Handoko (2003:195) mendefinisikan koordinasi (coordination) sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien.
Menurut Handoko (2003:196) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacam-macam satuan pelaksananya. Handoko (2003:196) juga menyebutkan bahwa derajat koordinasi yang tinggi sangat bermanfaat untuk pekerjaan yang tidak rutin dan tidak dapat diperkirakan, faktor-faktor lingkungan selalu berubah-ubah serta saling ketergantungan adalah tinggi. Koordinasi juga sangat dibutuhkan bagi organisasi-organisasi yang menetapkan tujuan yang tinggi.
Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat (1985:88) bahwa koordinasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan (leadership) adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena satu sama lain saling mempengaruhi.
Terdapat 3 (tiga) macam saling ketergantungan di antara satuan-satuan organisasi seperti diungkapkan oleh James D. Thompson (Handoko, 2003:196), yaitu:
1. Saling ketergantungan yang menyatu (pooled interdependence), bila satuan-satuan organisasi tidak saling tergantung satu dengan yang lain dalam melaksanakan kegiatan harian tetapi tergantung pada pelaksanaan kerja setiap satuan yang memuaskan untuk suatu hasil akhir.
2. Saling ketergantungan yang berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja.
3. Saling ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence), merupakan hubungan memberi dan menerima antar satuan organisasi.
Kebutuhan akan Koordinasi.
Kebutuhan koordinasi menurut stoner dan walker dapat di bedakan menjadi 3 fariasi:
1. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan kelompok (pooled interdependence)
Terjadi apabila organisasi tidak tergantung satu sama lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan sehari-hari, tetapi tergantung pada prestasi yang memadai dari setiap unit demi tercapainya hasil ahir.
2. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial (sequential interdependence)
Kebutuhan ini tercermin pada suatu unit organisasi yang harus melaksanakan kegiatan terlebih dahulu sebelum unit-unit selanjutnya dapat bertindak.
3. Kebutuhan koordinasi atas ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence)
ketergantungan timbal balik melibatkan hubungan saling memberi dan menerima dan saling menguntungkan di antara unit-unit.
Masalah dalam Pencapaian Koordinasi.
Masalah koordinasi banyak terjadi pada ketergantungan sekuansial dan ketergantungan timbal-balik. Ini di karenakan munculnya perbedaan dalam sikap dan gaya kerja berbagai individu dan bagian/unit di dalam organisasi.
Perbedaan-perbedaan yang efektifitas koordinasi adalah:
1. Perbedaan dalam Orientasi Terhadap Tujuan Tertentu.
Terjadi apabila anggota berbeda dalam mengembangkan pandangan nya sendiri dalam mencari cara terbaik untuk meningkatkan kepentingan perusahaan.
2. Perbedaan dalam Orientasi Waktu.
Terjadi apabila salah satu unit yang lebih memperhatikan masalah-masalah yang harus segera di tanggulangi, sedangkan unit yang lain lebih memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah yang memerlukan waktu lama.
3. Perbedaan Orientasi Antar Pribadi.
Terjadi apabila produksi ingin meningkatkan produknya dengan meningkatnya permintaan pasar, sedangkan unit perbekalan ingin mengurangi jumlah bahan yang di perlukan karena menipisnya dan sulitnya mencari bahan baku.
4. Perbedaan dalam Formulasi Struktur.
Terjadi apabila unit produksi dalam mengevaluasi kemajuan dengan mengukur imbalan kepada karyawan dengan tercapainya sasaran, sedangkan unit personalia dalam mengevaluasi kemajuan dengan mengukur kinerja yang di capai karyawan dengan kinerja yang di capai sebelumnya.
Pendekatan – pendekatan untuk mencapai koordinasi yang efektif
Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Semakin besar ketidakpastian tugas yang dikoordinasi, semakin membutuhkan informasi. Pada dasarnya koordinasi merupakan pemrosesan informasi. Terdapat tiga pendekatan untuk pencapaian koordinasi yang efektif, yaitu:
1. Teknik-Teknik Manajemen Dasar
Untuk mencapai koordinasi yang efektif kita dapat menggunakan mekanisme teknik-teknik manajemen dasar : hirarki manajerial, rencana dan tujuan sebagai pengarah umum kegiatan-kegiatan serta aturan-aturan dan prosedur-prosedur. Organisasi relatif tidak memerlukan peralatan koordinasi lebih dari teknik-teknik tersebut.
Mekanisme teknik manajemen dasar
a. Hirarki manajerial.
Rantai perintah, aliran informasi dan kerja, wewenag formal, hubungan tanggung jawab dan akuntanbilitas yang jelas dapat menumbuhkan integrasi bila dirumuskan secara jelas serta dilaksanakan dengan pengarahan yang tepat.
b. Aturan dan prosedur.
Adalah keputusan-keputusan manajerial yang dibuat untuk menangani kejadian-kejadian rutin, sehingga dapat juga menjadi peralatan yang efisien untuk koordinasi dan pengawasan rutin.
c. Rencana dan penetapan tujuan.
Pengembangannya dapat digunakan untuk pengoordinasian melalui pengarah seluruh satuan orgaisasi terhadap sasaran-sasaran yang sama. Ini diperlukan bila aturan dan prosedur tidak mampu lagi memproses seluruh informasi yang dibutuhkan untuk mengoordinasikan kegiatan-kegiatan satuan-satuan oraganisasi.
1. Meningakatkan koordinasi potensial
Meningkatkan koordinasi potensial menjadi diperlukan bila bermacam-macam satuan organisasi menjadi saling tergantung dan lebih luas dalam ukuran dan fungsi. Koordinasi ini dapat di tingkatkan melalui dua cara, yaitu :
2. Sistem informasi vertikal.
Adalah peralatan melalui mana data disalurkan melewati tingkatan-tingkatan organisasi. Komunikasi dapat terjadi di dalam atau di luar rantai perintah. Sistem informasi manajemen telah dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan seperti pemasaran, keuangan, produksi, dan operasi-operasi internasional untuk meningkatkan informasi yang tersedia bagi perencanaan, koordinasi, dan pengawasan.
3. Hubungan-hubungan lateral (harizontal).
Melalui pemotongan rantai perintah, hubungan-hubungan lateral membiarkan informasi dipertukarkan dan keputusan dibuat pada tingkat hirarki dimana informasi yang dibutuhkan ada.
Beberapa hubungan lateral, yaitu:
- Kontak langsung antara individu-individu yang dapat meningkatakan efektivitas dan efisiensi kerja.
- Peranan penghubung, yang menangani komunikasi antar departemen sahingga mengurangi panjangnya saluran komunikasi.
- Panitnya dan satuan tugas. Panitnya biasanya diorganisasi secara formal dengan pertemuan yang dijadwalkan teratur. Satuan tugas dibentuk bila dibutuhkan untuk masalah-masalah khusus.
- Pengintegrasian peranan-peranan, yang dilakukan oleh misal manajer produk atau proyek, perlu diciptakan bila suatu produk, jasa atau proyek khusus memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi dan perhatian yang terus menerus dari seseorang.
- Peranan penghubung manajerial, yang mempunyai kekuasaan menyetujui perumusan anggaran oleh satuan-satuan yang diintegrasikan dan implementasinya. Ini diperlukan bila posisi pengintegrasian yang dijelaskan pada d di atas tidak secara efektif mengoordinasikan tugas tertentu.
- Organisasi matriks, suatu mekanisme yang sangat baik bagi penanganan dan penyelesaian proyek-proyek yang kompleks.
1. Metode Pengurangan Kebutuhan akan Koordinasi
Dalam beberapa situasi adalah tidak efisien untuk mengembangkan cara pengkoordinasian tambahan. Ini dapat dilakukan dengan penyediaan tambahan smber daya-sumber daya untuk satuan-satuan organisasi atau penglompokan kembali satuan-satuan organisasi agar tugas-tugas dapat berdiri sendiri.
- Penciptaan sumber daya-sumber daya tambahan.
Sumber daya-sumber daya tambahan memberikan kelonggaran bagi satuan-satuan kerja. Penambahan tenaga kerja, bahan baku atau waktu, tugas diperingan dan masalah-masalah yang timbul berkurang.
- Penciptaan tugas-tugas yang dapat berdiri sendiri.
Teknik ini mengurangi kebutuhan koordinasi dengan mengubah karakter satuan-satuan organisasi. Kelompok tugas yang dapat berdiri sendiri diserahi suatu tanggung jawab penuh salah satu organisasi operasi (perusahaan).
Senin, 29 November 2010
Analisis SWOT
Singkatan bahasa Inggris dari kekuatan (strengths), kelemahan(weaknesses), kesempatan(opportunities), dan ancaman (threats) .
Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisa SWOT adalah semata-mata sebuah alat analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan bukan sebuah alat analisa ajaib yang mampu memberikan jalan keluar yang cespleng bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi.
Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :
- Strength (S), adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini. Bisa juga sebagai berikut:
• Keunggulan dalam desain
• Modal cukup
• Skill dalam digital graphic design
• Handal dalam vector image
• Loyalitas
• Motivasi berbisnis dan berwirausaha
• Kemampuan dalam membaca situasi pasar
• Motivasi untuk memuaskan para pelanggan Kami
• Modal cukup
• Skill dalam digital graphic design
• Handal dalam vector image
• Loyalitas
• Motivasi berbisnis dan berwirausaha
• Kemampuan dalam membaca situasi pasar
• Motivasi untuk memuaskan para pelanggan Kami
- Weakness (W), adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat ini. Bisa juga sebagai berikt:
• Masih hijau dalam memulai bisnis
• Pengalaman bisnis masih tergolong minim
• Masih harus belajar dalam mengolah gambar bitmap
• Pengalaman bisnis masih tergolong minim
• Masih harus belajar dalam mengolah gambar bitmap
- Opportunity (O), adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang diluar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi dimasa depan. Bisa juga sebagai berikt:
• Pangsa pasar dalam lingkup desain grafis yang cukup menjanjikan
• Pemasaran secara online
• Fasilitas dan infrastruktur cukup memadai
• Dukungan dari kerabat dan keluarga
• Kondisi ekonomi cukup stabil
• Pemasaran secara online
• Fasilitas dan infrastruktur cukup memadai
• Dukungan dari kerabat dan keluarga
• Kondisi ekonomi cukup stabil
- Threat (T), adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi dimasa depan. Bisa juga sebagai berikt:
• Usaha sejenis
• Lingkup pemasaran terbatas
• Pesonil tenaga kerja masih tergolong sedikit
• Lingkup pemasaran terbatas
• Pesonil tenaga kerja masih tergolong sedikit
Jenis Analisis Swot
1. Model Kuantitatif
Sebuah asumsi dasar dari model ini adalah kondisi yang berpasangan antara S dan W, serta O dan T. Kondisi berpasangan ini terjadi karena diasumsikan bahwa dalam setiap kekuatan selalu ada kelemahan yang tersembunyi dan dari setiap kesempatan yang terbuka selalu ada ancaman yang harus diwaspadai. Ini berarti setiap satu rumusan Strength (S), harus selalu memiliki satu pasangan Weakness (W) dan setiap satu rumusan Opportunity (O) harus memiliki satu pasangan satu Threath (T).
Kemudian setelah masing-masing komponen dirumuskan dan dipasangkan, langkah selanjutnya adalah melakukan proses penilaian. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan skor pada masing -masing subkomponen, dimana satu subkomponen dibandingkan dengan subkomponen yang lain dalam komponen yang sama atau mengikuti lajur vertikal. Subkomponen yang lebih menentukan dalam jalannya organisasi, diberikan skor yang lebih besar. Standar penilaian dibuat berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengurangi kadar subyektifitas penilaian.
2. Model Kualitatif
Urut-urutan dalam membuat Analisa SWOT kualitatif, tidak berbeda jauh dengan urut-urutan model kuantitatif, perbedaan besar diantara keduanya adalah pada saat pembuatan subkomponen dari masing-masing komponen. Apabila pada model kuantitatif setiap subkomponen S memiliki pasangan subkomponen W, dan satu subkomponen O memiliki pasangan satu subkomponen T, maka dalam model kualitatif hal ini tidak terjadi. Selain itu, SubKomponen pada masing-masing komponen (S-W-O-T) adalah berdiri bebas dan tidak memiliki hubungan satu sama lain. Ini berarti model kualitatif tidak dapat dibuatkan Diagram Cartesian, karena mungkin saja misalnya, SubKomponen S ada sebanyak 10 buah, sementara subkomponen W hanya 6 buah.
Sebagai alat analisa, analisa SWOT berfungsi sebagai panduan pembuatan peta. Ketika telah berhasil membuat peta, langkah tidak boleh berhenti karena peta tidak menunjukkan kemana harus pergi, tetapi peta dapat menggambarkan banyak jalan yang dapat ditempuh jika ingin mencapai tujuan tertentu. Peta baru akan berguna jika tujuan telah ditetapkan. Bagaimana menetapkan tujuan adalah bahasan selanjutnya yaitu membangun visi-misi organisasi atau program.
Sumber : http://bagusfirmansyah130.blogspot.com/2010/03/analisis-swot-makarizo-perusahaan.html
Kamis, 30 September 2010
Tangung jawab social Menajer
Menyalurkan Semangat Berbagi
Unilever Indonesia membentuk Yayasan Unilever
Indonesia Peduli (UPF) pada tanggal 27 November
2000 sebagai langkah penting dari perwujudan
komitmen tanggung jawab sosial perusahaan untuk
berkembang bersama masyarakat dan lingkungan
yang berkelanjutan.
Kami berupaya untuk memberikan kontribusi
dalam pencapaian kualitas hidup yang lebih baik.
Misi kami adalah menggali dan memberdayakan
potensi masyarakat, memberikan nilai tambah bagi
masyarakat, memadukan kekuatan para mitra dan
menjadi katalisator bagi pembentukan kemitraan.
Dalam meningkatkan reputasi perusahaan, kami
menekankan pentingnya berkesinambungan dalam
pelestarian lingkungan, kehidupan sosial, maupun
pertumbuhan usaha.
Pencapaian kualitas hidup yang lebih baik memiliki
arti yang luas, oleh karenanya Yayasan memfokuskan
kegiatannya ke dalam empat program utama, yaitu:
• Program Pengembangan Usaha Kecil Menengah;
• Program Pelestarian Sumber Air;
• Program Daur Ulang dan
• Program Pendidikan Kesehatan Masyarakat.
Dalam mengembangkan programnya, Yayasan berpegang
pada 4 strategi utama yaitu:
• Mengembangkan program yang terkait usaha kami;
• Merumuskan model kegiatan atau program
percontohan yang dapat diterapkan di daerah lain;
• Bekerja sama dengan unsur-unsur masyarakat
seperti LSM, lembaga pemerintah, pranata
pendidikan pelaku bisnis lain dan
• Membuat replikasi model di daerah-daerah lain.
Dalam melaksanakan inisiatif tanggung jawab sosial,
kami menerapkan pendekatan menyeluruh bagi setiap
inisiatif. Melihat konteks yang lebih luas, mulai dari
yang kecil untuk memastikan pencapaian hasil yang
baik lalu, kami bergerak cepat untuk mereplikasikan
inisiatif tersebut, sehingga dampaknya dapat dirasakan
masyarakat luas.
Struktur Organisasi Yayasan Unilever Indonesia Peduli 2005
Dewan Penasehat Dewan Pengawas Dewan Pengurus
Ketua Maurits Lalisang Ketua Muhammad Saleh Ketua Okti Damayanti
Wakil Ketua Josef Bataona Sekretaris Sancoyo Antarikso Sekretaris Bonnita Thoha Manoppo
Anggota Desmond G. Dempsey Anggota Linawati Widjaja Bendahara Franky Jamin
Laksmi Susanto Tobing Anggota Marlan Mardianto
Eka Sugiarto
Nilai dan Perilaku: Fokus kepada
Pelanggan, Konsumen dan Masyarakat
Perhatian utama kami adalah memenangkan hati
pelanggan (internal dan eksternal) dan upaya membahagiakan
konsumen dan masyarakat secara terus-menerus,
dengan memahami dan mengantisipasi kebutuhan
mereka, serta menanggapinya secara mandiri.
• Secara proaktif mendengarkan kebutuhan
konsumen dan masyarakat – menghasilkan tindakan
yang berfokus pada peningkatan nilai
• Menanggapi dengan serius setiap persoalan
pelanggan, pembeli dan masyarakat
• Merencanakan secara efektif – memberikan waktu
persiapan yang cukup untuk bekerja dengan baik
• Memenuhi apa yang dijanjikan – tepat waktu
• Peduli terhadap kondisi sosial masyarakat
di sekitar kami
Perilaku ini diterapkan dalam kegiatan perusahaan sehari-
hari. Tahun 2003, kami memperkenalkan Program
3C (Consumer, Customer and Community) Connection
kepada karyawan kami. Mereka didorong untuk
secara proaktif mendengarkan keinginan pelanggan,
konsumen dan masyarakat, guna mengumpulkan
masukan bagi peningkatan kontribusi kami. Dalam
menerapkan program UPF yang berkesinambungan,
kami selalu aktif mencari masukan, usulan dan komentar
para stakeholder, terutama dari masyarakat agar
dapat menciptakan kontribusi perusahaan lebih efektif,
efi sien dan tepat sasaran. Pertemuan bulanan dengan
tokoh masyarakat dilakukan secara rutin, sebagai
pendekatan yang bottom-up.
Berfokus pada kekuatan Unilever, kami yakin dapat
memberikan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat
sekitar khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya
Memperluas Cakrawala
Kami percaya bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR) tidak sebatas kontribusi sukarela,
tapi mencerminkan seluruh kegiatan perusahaan.
Pandangan kami terhadap tanggung jawab sosial perusahaan mencakup
seluruh kegiatan bisnis perusahaan kami. Kami yakin perusahaan yang
bertanggung jawab harus memberikan kontribusi yang bermakna bagi
kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, serta dasar-dasar
pendidikan sosial dan lingkungan.
Dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih dari sekedar perwujudan
kedermawanan (philanthropy) perusahaan, kami senantiasa berbagi
teknologi dan keahilan, bahkan juga kemitraan, dalam pelaksanaan kontribusi
sukarela perusahaan. Namun, pada waktu yang bersamaan, kami
pun berusaha memperluas wawasan tentang potensi-potensi sosial yang
belum tersentuh.
Dengan dasar pemikiran ini, kami berupaya membawa angin perubahan
bagi mitra kami dalam rantai nilai – lingkup stakeholder kami yang paling
luas – untuk melihat sesuatu tidak hanya dari kacamata bisnis, tetapi juga
melalui kacamata sosial.
Kami merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai dampak
atau interaksi yang ada dengan masyarakat, ke dalam tiga bagian yaitu:
Meraih yang Terbaik dengan Nurani
(Dampak Kegiatan Perusahaan)
Dampak utama kegiatan perusahaan tercipta dari operasi perusahaan.
Pendekatan kami dalam mengelola tanggung jawab sosial didasari
pemikiran bahwa tanggung jawab sosial merupakan bagian dari
kegiatan usaha, dan meliputi keinginan untuk selalu belajar dari
tindakan kami serta pengalaman pihak lain.
Kami senantiasa menyempurnakan kinerja kami, melalui
penerapan petunjuk pelaksanaan kegiatan usaha skala
nasional dan internasional, termasuk standar Program
Peringkat Kinerja Lingkungan (PROPER) dan standar operasi
internasional (ISO).
Kegiatan usaha kami lebih dari menciptakan
lapangan pekerjaan, juga mengembangkan sumber
daya manusia demi kepentingan perusahaan dan
masyarakat.
Tangung jawab social perusahaan
Membangun Sinergi Kesuksesan bagi Masyarakat
(Dampak Rantai Nilai)
Dampak yang lebih luas diciptakan melalui rantai nilai, mulai dari pemasok,
pelanggan, hingga konsumen. Kami memperkenalkan standar perilaku
usaha bagi pemasok, yang disebut Business Partner Code, dan menerapkan
“Supplier Quality Management Programme” (SQMP) untuk mendorong
pemasok dalam meningkatkan kemampuan dan kinerja mereka.
Kami bermitra dengan berbagai jenis distributor independen untuk meningkatkan
semangat kewirausahaan, menciptakan lapangan kerja, serta
memberikan keuntungan bagi usaha-usaha lokal.
Memenuhi Panggilan Masyarakat (Kontribusi Sukarela)
Kontribusi sukarela terhadap masyarakat secara luas, yang dilakukan
melalui kemitraan dengan LSM, badan pemerintah, perguruan tinggi dan
masyarakat, terlihat seperti “puncak gunung es” yang merupakan dampak
yang lebih besar dari kegiatan perusahaan yang sesungguhnya. Kontribusi
tersebut mencakup program-program berkesinambungan, yang dilaksanakan
secara profesional di bawah Yayasan Unilever Indonesia Peduli.
Salah satunya adalah pengembangan para petani kedelai hitam sebagai
mitra usaha Unilever.
Kami mendorong para karyawan untuk ikut berbagai hati,
pikiran dan pengalaman melalui kegiatan bakti sosial
sukarela bagi yang membutuhkan, seperti yatimpiatu,
anak jalanan, penduduk (miskin)
pedesaan, pengungsi dan lainnya.
CSR (Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan) merupakan dampak
keseluruhan kegiatan perusahaan
terhadap masyarakat.
Membangun Senergi Kesuksesan Bagi Masarakat
Kami tidak mungkin hadir tanpa dukungan
mitra bisnis kami. Hubungan
saling menguntungkan dan berkelanjutan
merupakan prinsip utama dalam
menjaga ikatan rantai nilai, mulai dari
pemasok hingga distributor.
Memaksimalkan Potensi para Pemasok
Dalam bisnis perusahaan, pertumbuhan berkelanjutan
merupakan hal yang sangat penting. Karena itu, kami
senantiasa mendorong mitra agar berbisnis dengan
cara yang berkelanjutan.
Melalui Program Manajemen Kualitas Pemasok
(Supplier Quality Management Programme - SQMP),
kami mendorong para pemasok menerapkan standar
tertinggi dalam berbisnis. Penerima penghargaan SQMP
tertinggi diberikan “Preferred Partner Certifi cation”,
dimana dituntut memberikan kualitas barang pada level
tertentu, pengiriman dalam jumlah dan waktu tepat,
menawarkan harga kompetitif, fl eksibel dan menjaga
kepercayaan.
SQMP mencakup seluruh pemasok Unilever termasuk
pemasok kemasan, bahan baku hingga bahan parfum.
Maksud program ini tidak hanya pada peningkatan
hubungan berbisnis, tapi juga mencapai tingkat pertumbuhan
yang lebih baik. Kriteria penilaian program
yang dilaksanakan sejak tahun 2000 ini selalu diperluas
dari tahun ke tahun, saat ini telah mencakup bagaimana
pemasok tersebut menangani masalah kesehatan,
keselamatan dan lingkungan perusahaan, serta komitmen
terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.
“Kami berterima kasih kepada Unilever Indonesia, bukan hanya atas hubungan bisnis yang
berkelanjutan dengan Unilever, melainkan juga karena kami merasa betul-betul dihargai
sebagai mitra. Karena diperlakukan sederajat, kami dapat belajar banyak dari hubungan
ini. Pengetahuan yang terus berkembang telah menghasilkan banyak inovasi, dan inovasi
tersebut melanggengkan usaha. Kami selalu menjaga hubungan yang betul-betul saling
menguntungkan atau win-win.“
Tony Hambali, Presiden Direktur Dynaplast, penerima tiga kali penghargaan bergengsi
Preferred Supplier Certifi cate.
Menciptakan Kesempatan bagi
Pengembangan Ekonomi Lokal
Dalam melayani para pelanggan, kami membutuhkan
network distribusi yang besar dan efi sien untuk produk
kami. Dalam kompetisi yang kian ketat, distribusi
produk yang efektif dan merata, menentukan sebuah
produk menjadi pilihan pelanggan.
Untuk menjaga dan memperkuat kelangsungan distribusi
produk, kami memilih untuk membina kerjasama
yang harmonis dengan berbagai mitra distributor yang
independen. Kemitraan ini sangat unik, termasuk
pengembangan kewirausahaan, lapangan kerja
dan bisnis bagi para pemilik usaha lokal. Sinergi di
dalam rantai nilai ini akan secara berkesinambungan
mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat luas.
Dengan sistem distribusi yang kuat, kami memasok
sekitar 550.000 outlet toko dan warung melalui lebih
dari 350 distributor yang handal dan terpercaya. Kami
menyalurkan, menyimpan, serta menjual produk-produk
dengan kualitas terbaik kepada setiap outlet dari 17
kantor depo penjualan dan dua gudang pusat kami,
dimana secara terus menerus dilakukan pemantauan
dan dukungan kepada setiap distributor. Dengan
sistem yang besar ini, kami menciptakan kesempatan
kerja bagi sekitar 25.000 orang.
Pada tahun 1998, kami memperkenalkan sebuah segmen
baru dalam rantai nilai kami, yaitu Sub-Distributor
Kecamatan (SDK). Tujuannya adalah menjangkau outlet
di daerah terpencil dan tidak terjangkau oleh para
distributor. Bagi kami, SDK merupakan sistem pendistribusian
yang unik karena para SDK mampu menjadi agen
perubah dalam perkembangan perekonomian lokal.
Dengan semangat kepemimpinan individu yang tinggi
yang dibekali melalui berbagai pelatihan dan bimbingan
khusus, mereka dapat menciptakan setiap peluang
meskipun kecil untuk selalu meningkatkan pertumbuhan.
Pemberdayaan juga merupakan kata kunci bagi para
penjaja eskrim kami. Bekerja sama dengan 35 distributor
eskrim, kami membuka lapangan kerja bagi sekitar
5.000 orang. Pembinaan kami mencakup pelatihan
khusus dan berkelanjutan, seperti teknik penjualan,
manajemen bisnis, kesehatan dan kebersihan.
Untuk mengikuti perkembangan tren pasar modern
yang sedang berkembang, kami menata ulang tugas
para sales representatives kami sebagai ujung tombak
Unilever. Mereka membantu supermarket dan hypermart
dalam memastikan perolehan produk yang tepat,
dalam jumlah yang tepat, dan pada waktu yang tepat.
Sales Push Team kami pun menjadi mitra yang terpercaya
bagi para konsumen kami dalam memproleh
produk yang berkualitas. Mereka memberikan berbagai
informasi secara proaktif dan langsung kepada konsumen
tentang manfaat produk, sekaligus menerima
masukan dan keluhan dari para konsumen, yang sangat
penting bagi pengembangan produk dan pelayanan
kami selanjutnya untuk mencapai standar tertinggi.
Hubungan dengan para mitra outlet modern ini tidak
terbatas pada kepentingan bisnis semata, tapi juga
untuk memberikan bantuan kemanusiaan bagi yang
membutuhkan. Bahu-membahu, kami membagi
sebagian hasil penjualan yang kami peroleh kepada
yang membutuhkan seperti anak jalanan di kota-kota
besar dan di daerah yang tertimpa bencana. Dengan
Matahari Supermarket, kami telah memberikan
sebagian hasil penjualan bagi korban bencana Nabire.
Sumbangan-sumbangan ini pun memberi kesempatan
belajar dengan layak kepada anak-anak jalanan, dan
bahkan dapat berarti hidup yang baru bagi anak-anak
Aceh, Sumatera Utara dan Nabire.
“Saya selalu membayangkan Unilever sebagai sebuah perusahaan multinasional.
Baru ketika menjadi distributornya, saya menyadari bahwa mereka juga multilokal,
yang berarti mereka sadar bahwa untuk pasar yang berlainan diperlukan
pendekatan yang berbeda pula, tanpa melupakan standar kualitas internasional.
Saya merasa beruntung bahwa Unilever memberikan kesempatan luas bagi
saya untuk belajar. Hal itu menguntungkan bisnis kami, dan saya yakin, rekan
distributor Unilever yang lain memperoleh keuntungan yang sama.“
Saryanto, Manajer Operasi Distributor BSM2.
Memenihi Panggilan Masrakat
Kami berkomitmen meningkatkan
dampak positif kegiatan kami melalui
kontribusi sukarela. Kami memusatkan
perhatian pada pengembangan
mitra UKM, peningkatan kualitas
lingkungan, dan pengelolaan sampah
serta meningkatkan kesadaran akan
kesehatan dan lingkungan.
Kami telah melaksanakan dan menyempurnakan
kegiatan kontribusi sukarela kami sejak bertahun-tahun.
Kami berupaya bersikap profesional dalam mengelola
tanggung jawab sosial perusahaan layaknya mengelola
bidang usaha lainnya. Yayasan Unilever Indonesia Peduli
(UPF) memegang peranan penting sebagai perwujudan
sikap profesional kami dalam menjalankan tanggung
jawab sosial perusahaan. UPF memfokuskan kegiatan
pada empat bidang kegiatan utama, sekaligus menjadikan
kontribusi kami lebih bermakna.
Mutiara Hitam Pulau Jawa dan
Permata Lainnya
Di daerah pedesaan Jawa, kami mengajak kelompok tani
kedelai hitam menjadi pemasok pabrik Kecap Bango.
Kami mendampingi dan memberikan bibit kedelai
hitam terbaik, pengarahan mengenai penanaman, dan
pinjaman tanpa bunga. Bersama ahli pertanian dari
Universitas Gajah Mada yang menangani aspek teknis,
kami mendorong petani untuk mengembangkan
kepekaan dan kemampuan meningkatkan usahanya.
Program ini berkembang sangat baik karena para
petani mendapatkan kepastian hasil panen mereka
yang kualitasnya memenuhi standar akan dibeli dengan
harga sesuai oleh Unilever. Hasil panen meningkat,
begitu pula pendapatan para petani menciptakan masa
depan yang lebih cerah.
Program UKM lainnya adalah pembudidayaan dan
pengolahan ikan air tawar untuk dijadikan bahan baku
penyedap rasa Royco. Bekerja sama dengan Universitas
Gajah Mada, inovasi baru sebagai terobosan dikembangkan
untuk menciptakan penyedap rasa cair tanpa
tambahan MSG (mono sodium glutamat). Inovasi ini
memperkaya pengembangan produk Royco. Bahan baku
diperoleh dari jenis ikan yang sangat umum di Indonesia,
namun pengolahannya perlu penanganan khusus agar
hasilnya sesuai dengan yang ditetapkan. Kerja sama
antara kelompok tani, universitas dan Unilever Indonesia
telah terbukti mencapai hasil yang menggembirakan.
Melestarikan Sumber Kehidupan
Kami berkomitmen menjadi bagian dari solusi masalah
lingkungan melalui kontribusi sukarela untuk meningkatkan
kualitas lingkungan sekitar kami, contohnya
Proyek Kali Bersih di Jambangan, Surabaya. Kami berupaya
mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat
di sepanjang Sungai Brantas dalam menyikapi sungai.
Sebelumnya, mereka terbiasa membuang sampah
dan pencemar lainnya ke dalam sungai dan menggunakan
airnya tanpa mempedulikan pelestariannya.
Kami mendorong masyarakat untuk meningkatkan
kondisi lingkungan mereka, dengan membangun
fasilitas sanitasi, membagikan tempat sampah, serta
mengolah sampah menjadi kompos melalui pemilahan
sampah organik dan non-organik. Kami juga menyumbangkan
composter communal skala kelurahan dan
berkolaborasi dengan stakeholder dalam mengelola
fasilitas pengolahan kompos. Bersama stakeholder
kami, meliputi lembaga pemerintah, LSM, universitas,
perusahaan swasta, dan juga media, pendampingan
masyarakat menjadi hal yang lebih mudah dilakukan.
Dengan keterlibatan masyarakat, mereka dapat membuktikan
bahwa program yang berkesinambungan ini
betul-betul akan meningkatkan kualitas hidup di sekitar
Sungai Brantas. Model yang berhasil ini dikembangkan
di daerah-daerah lain di sepanjang sungai untuk melestarikan
kualitas air dan kehidupan yang ada di dalamnya,
sekaligus untuk melestarikan sumber kehidupan.
Selamatkan Kota-Kota Besar
Kami berupaya membantu kota-kota besar dalam
menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik
bagi warganya. Untuk mencapai keberhasilan yang
optimum, kami memfokuskan perhatian kami untuk
mengentaskan sebagian persoalan urban melalui
upaya daur ulang sampah. Saat kami mengumpulkan
data awal mengenai persoalan sampah, kami terkejut
melihat kenyataan bahwa banyak operasi daur ulang
kekurangan bahan baku sampah plastik. Kenyataan ini
terasa ironis, karena permasalahan sampah telah lama
menjadi persoalan bagi kota-kota besar.
Guna membantu persoalan ini, kami bekerja sama dengan
pemerintah daerah, universitas, LSM dan media
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pengumpulan sampah melalui kampanye “Surabaya
Green & Clean”. Kami melakukan pemilahan sampah
yang dapat didaur ulang dari sampah lainnya melibatkan
pemulung di Surabaya dan sekitarnya, karena
pemilahan sampah merupakan langkah penting dalam
pengolahan sampah yang lebih berkesinambungan.
Keceriaan menuju Sadar Kesehatan
Kampanye yang berkelanjutan umumnya dipandang
mahal, padahal kegiatan ini tidak perlu menghabiskan
dana besar bila berbagai stakeholder dapat bersatu
untuk mengkampanyekan pesan ini. Kampanye ini
telah kami lakukan sejak tahun 1994 melalui Program
Sekolah Pepsodent. Sekitar 7.000 anak sekolah dasar
telah memahami pentingnya kesehatan mulut setelah
mengikuti program belajar interaktif. Pepsodent juga
mengadakan pemeriksaan kesehatan gigi dan gusi
gratis, dimana sekaligus menanamkan pengertian
pada anak-anak mengenai pentingnya mengunjungi
dokter gigi secara teratur.
Melalui program lain bernama “IDE” yang telah
memasuki tahun ketiga, kami mengembangkan proses
belajar-mengajar interaktif bagi 800 sekolah yang
tersebar di empat kota, melibatkan 233.000 pelajar dan
10.000 guru. Kurikulum menjadi landasan untuk menyeimbangkan
antara keuntungan bisnis dan kontribusi
sosial perusahaan melalui penyediaan alat bantu dan
paket belajar interaktif untuk proses belajar-mengajar
yang menyenangkan.
Merupakan kehormatan tersendiri bagi saya untuk menjadi bagian dari
inisiatif daur ulang sampah plastik Unilever, karena saya yakin kegiatan
ini sangat penting bagi kelestarian lingkungan. Inisiatif ini sangat unik
dan menantang, karena belum pernah ada di Indonesia. Menurut saya,
kami dapat membuat perubahan yang baik bagi lingkungan.
Purnomo, Presiden Direktur Primapack,
anggota kehormatan program daur ulang Unilever.
Manfaat bagi Hubungan yang Erat
Kami selalu berhubungan erat dengan masyarakat,
karena kami yakin bahwa kesuksesan sebuah usaha
harus mempertimbangkan kebutuhan para konsumennya.
Kami menyadari bahwa perkembangan dunia
yang berubah cepat saat ini, menuntut kami untuk
mendengarkan suara pelanggan yang merupakan
bagian dari masyarakat.
Kami mendorong para karyawan untuk meluangkan
waktu dan berbagi pengalaman dalam kegiatan
bakti sosial melalui program Community Connection.
Menariknya, inisiatif ini berasal dari para karyawan
sendiri. Mereka juga terlibat dalam program Care for
Area Surrounding, yang bertujuan membantu masyarakat
sekitar kegiatan operasi kami. Para karyawan,
bahu membahu, memperbaiki sekolah-sekolah yang
sudah rusak termasuk ratusan manajer ikut mengajar
baik di dalam maupun di luar sekolah, dan mengajak
anak-anak untuk mengunjungi tempat-tempat menarik
sekaligus berbagi pengetahuan dengan mereka.
Bantuan kemanusiaan dalam bentuk pengumpulan
dana dan bantuan barang pun dilakukan oleh perusahaan
dan karyawan untuk meringankan penderitaan
saudara kita di daerah-daerah bencana seperti Nabire
(Papua), Aceh, Sumatra Utara dan lain-lainnya.
Kegiatan fi lantropi perusahaan kami tidak sebatas pada
kegiatan di atas. Karyawan kami diberi kesempatan
untuk dapat mengembangkan diri dalam hal menjaga
keseimbangan hidup antara pekerjaan dan kehidupan
sosial, sehingga meningkatkan minat terhadap
kehidupan sosial masyarakat. Melalui partisipasi aktif
ini, para karyawan belajar apa artinya menjadi anggota
masyarakat yang dapat dibanggakan.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kami
ingin bersikap sama profesionalnya dalam menangani
tanggung jawab sosial seperti ketika kami menangani
bidang bisnis lainnya. Pengalaman para karyawan ini
akan memperkaya kegiatan tanggung jawab sosial kami.
Penghargaan dan Pengakuan
Tujuan perusahaan kami menjadi inspirasi di dalam pelaksanaan
operasi bisnis. Kami berusaha melayani para konsumen,
pelanggan, serta masyarakat dan lingkungan kami. Dipandang
sebagai yang terbaik oleh para stakeholder merupakan tujuan
utama kami. Karena itu, kami menganggap setiap penghargaan
sebagai pengakuan atas kinerja baik kami.
Komitmen untuk menjalankan usaha secara bertanggung jawab telah membawa berbagai
penghargaan kepada kami. Diantaranya adalah “The Best in Corporate Governance 2004
Award” dari Asset Magazine, sebuah majalah bisnis terkemuka di kawasan Asia. Berdasarkan
indeks Commitment to Corporate Governance, Shareholders’ Rights, Board of Commissioner’s
Management, Functional Committees, Board of Directors, Stakeholder Relations dan
Transparency and Accountability, kami menerima “Corporate Governance Perception Index
2004 Award” untuk tingkat nasional. Penghargaan ini diberikan oleh majalah SWA Sembada,
majalah bisnis terkemuka Indonesia, serta IICG (Indonesia Institute for Corporate Governance).
Tahun 2004, kami menerima penghargaan Tax Award dari Departemen Keuangan sebagai
pembayar pajak yang taat. Suatu kebanggaan tersendiri diakui sebagai kontributor besar
bagi pembangunan bangsa.
Di mata para pemegang saham, kami dipandang sebagai investasi yang bernilai tinggi.
Harian bisnis terkemuka Investor Indonesia memberi penghargaan “Top Performing Listed
Company 2004” dan “Top Listed Company 2004” dalam sektor Household Goods.
Perhatian kami terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja diakui oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dengan diperolehnya Zero Accident Award 2005.
Melayani konsumen, pelanggan bisnis dan masyarakat merupakan amanah yang takkan
pernah berakhir, karena itu penghargaan dan pengakuan dari berbagai pihak merupakan
dorongan yang sangat berarti. Namun, kami juga menyadari, penghargaan dan pengakuan
atas prestasi terdahulu merupakan peringatan bahwa masih banyak tantangan menunggu
di masa depan.
“Sebagai perusahaan dengan komitment tinggi dalam merespon kebutuhan lingkungan dan
masyarakat, Unilever mengoptimalkan sumber dayanya untuk menjaga keuntungan timbal balik
dengan lingkungannya melalui program-program yang ramah lingkungan dan sosial. Unilever
menempatkan CSR sebagai strategi berdasarkan keyakinan bahwa perusahaan ada dan dapat
berkembang hanya bila ia dapat berbagi keuntungannya bagi lingkungan sekitar.
Saya, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, menyampaikan penghargaan kepada kinerja
Unilever yang mendukung usaha kami untuk mempromosikan Undang-Undang Perlindungan
Anak (UU No. 23/2002) untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak-anak.”
Dr. Meuthia Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia
Dari “Saya” menjadi “Kita”
“Dalam 50 tahun terakhir, pendapatan dunia meningkat 7 kali lipat karena ekonomi dunia bergairah
dengan adanya konsep “pencerahan kepentingan pribadi (enlightened self interest)”, yang
diyakini sebagai basis untuk kesejahteraan yang lebih baik. Bersamaan dengan itu, jutaan orang
di dunia, hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang rusak dikarenakan polusi yang semakin
parah. Pembangunan terlihat seolah hanya untuk memenuhi kebutuhan “kepentingan pribadi
(enlightened individual interest)” yang kuat dan kaya, dan mengabaikan kebutuhan masyarakat
miskin dan lingkungan.
Untuk mencapai dunia yang lebih setara, berkelanjutan tanpa kemiskinan dan kerusakan lingkungan,
dibutuhkan pergeseran paradigma, dari pemenuhan “kepentingan individu” menjadi
“kepentingan bersama”, yaitu perubahan dari pengelolaan “corporate usual responsibility”
menjadi “corporate social responsibility”, yang berarti berubahnya orientasi dari gaya hidup
“Saya” menjadi “Kita”. Seluruh anggota masyarakat harus bekerja bersama sebagai team untuk
membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk kita semua.
Saya berharap bahwa laporan Unilever “Berpadu dalam Cita bersama Masyarakat & Lingkungan”
dapat memberikan gambaran pintas mengenai bagaimana dan mengapa perubahan semacam
ini dibutuhkan dan dapat dilaksanakan di dalam paradigma bisnis dan gaya hidup itu."
Emil Salim, Ketua Badan Pengurus Association of Community Empowerment
“Kami melihat Unilever sebagai pelita bagi tatakelola perusahaan yang baik (good
corporate governance) di Indonesia. Hal ini ditunjukan melalui kekonsistenan Unilever
yang selalu berada diperingkat teratas penilaian kami dalam tata kelola perusahaan.”
Michael Chambers, Ketua TIPs Research, CLSA Indonesia
“Unilever Indonesia melalui Yayasannya menunjukkan contoh nyata kepedulian
terhadap masyarakat kecil. Melalui program pengembangan petani kedelai hitam,
petani dibantu dengan benih yang berkualitas, bantuan saprodi tanpa bunga,
bimbingan teknis oleh UGM, jaminan hasil dibeli dan kepastian harga yang
memadai yang telah ditentukan bersama sebelum menanam.
Unilever juga telah membantu para petani untuk dapat bekerja sama dengan
industri dan mendampingi petani mencapai keuntungan timbal balik serta
hubungan kerjasama yang berkelanjutan. Bukan hanya petani yang berbahagia
dengan akvitas Unilever ini, tetapi juga UGM mendapat kesempatan untuk
mengabdikan keahlian mereka langsung kepada petani dan juga memberikan
kesempatan kepada para sarjana baru untuk langsung menerapkan keahlian
mereka di dunia nyata. Saya yakin dengan cara ini Unilever Indonesia dapat
terus berkembang bersama masyarakat. Terus dan tingkatkan komitmen dan
kepedulianmu kepada masyarakat kecil.”
Sumber : Unilever Indonesia:
Langganan:
Postingan (Atom)